Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jomblo Mencari Cinta (6)

13 Oktober 2014   22:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAGIAN 6
PASAR MINGGU

DENGAN langkah lunglai Poltak menyusuri trotoar. Dia ingin melepaskan rasa penat dan kesal setelah peristiwa memalukan di bis kota tadi. Kadang dia merasa geli juga membayangkan kebodohannya. Dia kira kondektur bis, ternyata pengamen.
“Dasar orang kampung!” dia memaki dirinya sendiri dalam hati.
Tetapi dia bertekad menjadikan pengalaman tadi sebagai pelajaran berharga. Untuk itu dia harus mulai mengenal Jakarta seutuhnya. Caranya tentu saja dengan melanglang buana sejauh mungkin, bila perlu menjelajahi setiap pelosok kota. Blusukan seperti Jokowi.
Hari masih siang. Kepalang tanggung. Dia ingin menghabiskan waktunya seharian berjalan-jalan untuk lebih mengenal Kota Jakarta. Tetapi ke mana?
Tiba-tiba dia teringat nama sebuah tempat di Jakarta yang disebut dalam sebuah lagu. Lagu ini dulu sering dia nyanyikan semasih anak sekolah dasar (SD). Dan lagu ini merupakan favoritnya di masa itu.
“Pepaya mangga pisang jambu.. Ah ah ah...
Dibawa dari Pasar Minggu. Di sana banyak penjualnya, di kota banyak pembelinya. Marilah-mari kawan-kawan semua membeli buah-buahan...”
Poltak Suhardo masih ingat bagaimana ibu gurunya dulu menyuruh anak-anak bertepuk tangan sambil berjoget menyanyikan lagu ini. Dan itu lagu favorit Poltak di masa SD itu. Setiap giliran maju ke depan untuk bernyanyi, sudah pasti lagu itu yang dia nyanyikan:
Pepaya mangga pisang jambu ... ah ah ah... Dibawa dari Pasar Minggu...
Pasar Minggu. Sejak kecil dia sering menyebut-nyebut nama ini dalam nyanyian. Sekarang dia punya kesempatan untuk mengetahui dan melihat langsung apa dan bagaimana sih Pasar Minggu tersebut.
Tetapi Pasar Minggu itu di mana ya? Apakah memang benar di sana ada banyak buah-buahan? Kalau ternyata tempatnya dekat dan mudah dicapai dengan naik angkutan umum, dia ingin jalan-jalan ke Pasar Minggu. Mumpung hari masih siang. Kalau nyasar, paling telepon ke rumah paman, minta dijemput ke kantor polisi terdekat. Gitu aja kok repot.
Malu bertanya sesat di jalan. Peribahasa ini dulu sering dia dengar dalam pelajaran bahasa Indonesia. Sekarang tiba saatnya untuk mempraktekkannya. Dia akan bertanya kepada orang-orang di mana lokasi Pasar Minggu itu. Dia memperhatikan siapa orang yang kira-kira layak untuk dijadikan tempat bertanya. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, ada lima atau enam anak muda yang nongkrong sambil berbincang-bincang ramai. Agaknya mereka itu anak-anak sekolah yang sudah pulang dari sekolah, atau mungkin bolos.
Tapi tiba-tiba dia mengurungkan niatnya, sebab siapa tahu anak-anak muda itu badung-badung, dan suka berbuat iseng, dan lalu mempermainkannya. Apalagi sewaktu masih di kampung, dia sering mendengar cerita kalau di kota besar seperti Jakarta, ada banyak orang yang tidak peduli dengan orang lain. Pendatang baru sering menjadi korban penipuan. Naluri orang desa yang masih kental di jiwanya melarangnya untuk berbasa-basi dengan anak-anak muda itu. Maka dia tidak akan bertanya kepada mereka. Dia tidak mau ambil risiko.
Maka dia menunggu orang yang tepat untuk menjadi informan. Yang bisa dipercaya. Dan akhirnya pilihannya jatuh ke seorang lelaki tua, mungkin sekitar 55 - 60 tahun. Orang tua itu sedang berjalan menuju ke arahnya. Dia yakin orang tua yang satu ini dapat dipercaya. Penampilannya yang sederhana dan wajah yang lugu, ndeso, membuat Poltak semakin yakin bahwa bapak ini pasti akan memberikan keterangan yang baik dan benar. Bukan data palsu. Maka ketika orang tua sudah berada kira-kira satu langkah darinya, Poltak pun langsung bertanya:
“Selamat siang Pak...saya mau bertanya,” sapa Poltak sambil garuk-garuk kepala.
“Apa?” jawab Pak Tua itu sambil memandangi wajah Poltak dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
“Bapak tahu enggak Pasar Minggu itu adanya di mana?”
Orang tua itu tampak berpikir sejenak.
“Mau apa kau ke sana?” orang tua itu seperti menyelidik.
“Jalan-jalan Pak...” jawab Poltak mulai dongkol. “Ini orang tua kok mau tahu saja urusan anak muda,” kata hatinya.
“Sekarang hari apa ya...?” orang tua itu balik bertanya kepada Poltak.
“Hari Kamis Pak. Memangnya kenapa?” Poltak makin sebal melihat orang tua yang kelihatannya suka bertele-tele ini.
“Kamis, Jumat, Sabtu... Oh, berarti Pasar Minggu itu adanya tiga hari lagi dari sekarang,” jawab si bapak dengan muka datar. “Datanglah di hari Minggu ya,” kata orang tua itu kemudian meneruskan langkahnya.
Poltak melongo. Orang tua ini sedang bercanda atau memang sedang bingung? Orang tua ini lagi marah atau lapar? Ditanya apa, dijawab apa? Sehat atau sakit? Dalam suka atau duka? Waras atau sinting? Sialan. “Kalau memang tidak tahu di mana Pasar Minggu, bilang saja terus terang, jangan sok mengalihkan topik,” gerutu Poltak dalam hati. Rasa simpatinya terhadap penduduk Jakarta dan sekitarnya mulai menghilang.
Seorang penjual bubur kacang ijo yang memperhatikan dialog antara Poltak dan orang tua tadi menyapa:
“Emangnya tadi kamu menanyakan apa sama orang tua itu?”
“Nanya alamat. Tetapi jawabnya ngaco,” kata Poltak.
“Dia memang rada gini...” kata si pedagang sambil menyilangkan jari telunjuk tangan kanan ke kening.
“Oh, pantas,” sahut Poltak kesal.
“Memang adik ini mau ke mana?” tanya penjual bubur.
“Nggak jadi Pak. Terimakasih,” jawab Poltak sambil meneruskan langkah. Dia jadi trauma. Jangan-jangan si penjual bubur kasih jawaban yang bikin bingung pula.
Poltak melangkah lunglai dari sebuah halte ke halte berikutnya. Mau meneruskan upayanya untuk meninjau Pasar Minggu atau tidak? Ya-tidak-ya-tidak-ya-tidak. Tokek!
Tapi Poltak tidak mau lebih lama larut dalam kesangsian. Maka dia pun segera mengambil keputusan mantap: pulang ke rumah! Untuk itu dia hanya perlu menyeberang jalan, lalu naik bus yang nomor dan rutenya sama dengan yang tadi dia berangkat dari rumah. Dan yang pasti, dia tidak akan mau melakukan kesalahan lagi seperti tadi, memberi ongkos kepada pengamen. Bahkan keledai paling bodoh sedunia pun tidak akan pernah sudi terperosok ke lubang yang sama, katanya dalam hati, mengutip pepatah lama.
Sudah hampir pukul 18.00 WIB saat Poltak tiba di rumah. Dia pantas merasa bangga sebab tidak sampai nyasar.
“Dari mana saja kau seharian?” tanya Gomos, sepupunya.
“Jalan-jalan, dong...”
“Dong? Wah sudah mulai pintar pula kau berbahasa Jakarta, ya...” goda Gomos.
“Hahahahahahahhahaha....”
“Coba ceritakan bagaimana pengalamanmu tadi. Ke mana saja, naik bis apa saja. Terus terang, kami tadi sempat khawatir kalau kau kesasar. Bila sampai pukul 20.00 WIB kau belum pulang, kami sudah siap-siap menyebarkan selebaran untuk mencari orang hilang...” canda Gomos.
“Ah...Jakarta mah kecil. Gak mungkinlah aku kesasar,” jawab Poltak. Dia bersumpah tidak akan menceritakan pengalamannya. Dia tidak mau menjadi bahan tertawaan lagi di rumah.
“Bagaimana besok, jadi enggak kau mendaftar ke kampus?”
“Jadi, dong...”
“Mau ditemani gak?”
“Gak usah. Kasih tahu saja alamat kampusnya, dan naik angkutan nomor berapa ke sana,” kata Poltak yakin.
“Yakin tidak kesasar?”
“Calon mahasiswa kok kesasar,” jawab Poltak sambil nyengir.
“Sombong lu!” {} BERSAMBUNG...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun