JUMAT 24 Oktober 2014 lalu, aku menelepon seorang pejabat daerah (wakil bupati). Lewat pertemanan di Facebook, saya menawarkan diri untuk menulis buku biografinya. Ada banyak pengalaman dan prestasi yang pernah dia buat. Dan ini menarik untuk diabadikan dalam bentuk buku. Buku ini sekaligus bisa jadi promosi untuk bisa melangkah lebih jauh: menjadi bupati, gubernur, menteri, atau bahkan presiden RI. Nasib dan garis tangan tiada yang tahu bukan? Lima tahun lalu, siapa pernah membayangkan Joko Widodo menjadi presiden RI?
Singkatnya, sang pejabat mungkin merasa tertarikdan meminta saya menemui dia di kantornya, di Jakarta. Sekalipun dia pejabat daerah, namun sesekali datang juga ke Jakarta, karena “asli”nya dia berdomisili di Jabodetabek. Dia minta ketemuan hari Jumat, tapi sebelumnya menyuruh saya menelepon dia kalau mau ketemu.. Dua hari sebelumnya dia memberi nomor HP-nya.
Tapi sebelum melantur lebih jauh, saya mau kasih tahu kalau tulisan ini bukan tentang politik, tetapi hanya curhat soal operator telepon seluler. Sebab saya tidak habis pikir kok begitu tegakah operator seluler menjadikan pelanggannya “korban” tanpa sepengetahuan pelanggan yang bersangkutan?
Musababnya begini: Sewaktu menelepon pejabat itu, ada perintah melalui mesin untuk memencet nomor kalau ingin pembicaraan tersambung. Biayanya Rp 5.000,- Karena ini penting, saya turuti saja perintah mesin itu dan memencet nomor tertentu. Tak lama kemudian terdengar lagu daerah, yang dipakai si pejabat itu sebagai nada tunggu. Tragisnya, mendengar nada tunggu ini pun bertarif sekitar Rp 6.000,-
Merasa pulsa saya cukup, saya diamkan saja, yang penting bisa terhubung dengan pejabat. Dan dalam hitungan detik dia mengangkat. Setelah saya memperkenalkan diri, dan mengingatkan janjinya untuk ketemuan hari ini, ia mengatakan OK.
Tapi karena dia ada rapat di kantor, maka tidak bisa disebutkan waktu yang tepat untuk ketemu. Dia menyuruh saya menunggu sampai rapatnya selesai. Demi order menulis buku biografi, saya pun sengaja bolos dari kerja, dan nongkrong di dekat kantor “calon klien” tersebut. Saya akan siap bila sewaktu-waktu dia memanggil, bila rapatnya selesai.
Iseng-iseng saya periksa pulsa saya, sudah tersedot Rp 12.000 hanya untuk bicara tidak sampai 20 detik! Tapi bagi saya tidak masalah, sebab hanya sekali ini, demi order menulis buku ini.
Menjelang sore, rapatnya selesai. Sewaktu saya disuruh menemui ke ruangannya, saya kecewa. Sebab intinya dia tidak ada niat membuat buku biografi, karena tidak mau dinilai punya misi politis, pencitraan, dsb.
Saya tidak bisa ngomong apa-apa. Karena sudah langsung di-skak mat! Saya hanya diam mendengar dia ceramah sekitar lima menit, dan menutup dengan kata: “OKEY?” Ini artinya mengusir secara halus. Saya pun keluar ruangan dengan tetap membawa dan meminum segelas air mineral yang disediakan stafnya untuk saya.
Kira-kira satu jam kemudian, istri saya menelepon. Dia bertanya: “Kok sekarang pakai nada tunggu?”
“Nada tunggu apa?” Saya tidak mengerti. Lalu istri saya menjelaskan kalau sebelum saya mengangkat HP, terdengar lagu seperti lagu yang saya dengar waktu menelepon pejabat tadi.
“Dan itu dikenai biaya lho,” jelas istri saya membuat saya dongkol dan emosi terhadap operator yang serasa telah menjebak saya. Kok nomor saya ikut-ikutan pakai nada tunggu hanya gara-gara nelpon nomor yang punya nada tunggu sama? Jika ini memang akan menyedot pulsa saya, apakah ini bukan suatu tindak pencurian, pemerasan diam-diam?
Kalau demikian, di mana hati nurani para operator? Apakah kita hidup dikelilingi para maling dan pembohong?
Kiranya ini menjadi pelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H