Fakta di atas setidaknya menegaskan beberapa hal. Pertama, Indonesia sebagai begara pluralis yang sukses menjalankan nilai-nilai toleransi, tidak lagi relevan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerima penghargaan dalam bidang toleransi hanya sebatas sebuah atribut saja.
Kedua, bergesernya paradigma ruang punlik dan ruang privat. Sikap intoleransi disebabkan oleh kurang memadainya pemahaman yang tepat dalam membedakan wilayah cakupan masalah privat dan masalah publik.
Jokpin mengatakan: Demikianlah, ketika saya bertandang ke rumahnya/tanpa saya tanya ia langsung berkata: "Kalau mau ke toilet,/terus saja lurus ke belakang, putar sedikit ke kiri,/kemudian belok kanan."
Memasuki toilet tanpa melalui koridor yang tepat dapat memicu terjadinya realitas intoleransi akut karena lokasi toilet diprivatisasi. Oleh sebab itu, sikap bijak dengan cara passing over mutlak dibutuhkan.
Agama dan Demokrasi
Membaca puisi Toilet I ini, saya teringat akan sajak Cermin I (1982) karya Sapadi Djoko Damono berikut: Cermin tak pernah berteriak;/ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,/meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;/barangkali ia hanya bisa bertanya:/mengapa kau seperti kehabisan suara?
Sebagaimana toilet, kita cenderung menolak menjadi tua di depan sebuah cermin dan lupa bahwa di tengah universalitas, toilet bukanlah satu-satunya tempat bercermin. Dalam sebuah negara demokrasi, agama tidak dapat direduksi kepada demokrasi atau pun sebaliknya. Agama mengurus akar kejahatan manusia dan berusaha agar manusia dari hari ke hari sempurna secara moral serta menjauhi kejahatan.
Demokrasi hanya dapat mengatur dan mencegah agar manusia dalam kerapuhan dan kejahatannya tidak merugikan orang lain (Bdk. Otto Gusti Madung, Hak-Hak Asasi Manusia, 2003: 30). Agama (Toilet) dan demokrasi (Rumah) memang memiliki kesamaan secara fundamental, namun berbeda secara substansial.
Seseorang dapat saja saleh secara religius namun tidak menjadi jaminan mutlak bahwa ia memiliki kualitas moral publik yang tinggi. Pada bait III, Jokpin menulis: Mungkin ia bermaksud memamerkan/toiletnya yang memang mewah. Begitu saya keluar dari toilet,/ia bertanya: "Dapat berapa butir?"
---
*Mengenal Joko Pinurbo
Joko Pinurbo (Jokpin) mulai memikat pembaca sastra setelah terbitnya Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), dan Kepada Cium (2007). Berbagai penghargaan telah diraih diantaranya: Hadiah Sastra Lontar 2001 untuk kumpulan puisi Celana, dan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002 untuk kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung (2001). Pada tahun 2005, Jokpin menerima Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004).
Jokpin lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, dan mulai menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Penyair lulusan IKIP Sanata Dharma Jurusan Pendidikan dan Sastra ini menekuni aneka tema dalam dunia kepenulisannya.