Mencintai manusia, alam, dan makhluk hidup, bagi saya merupakan hal yang sudah biasa. Meskipun dalam proses mencintai itu terdapat begitu banyak tantangan dan kendala, toh masih tersedia alasan konkret bagi seseorang untuk tetap bertahan. Lalu, bagaimana dengan mencintai Tuhan? Mengapa seorang pemuda memutuskan untuk tidak menikah karena lebih tertarik menjadi seorang biarawan? Apakah ada penjelasan ilmiah mengapa seorang lebih cenderung menghabiskan waktu berjam-jam di dalam tempat ibadah dari pada bersama kawan dalam sebuah klub malam? Lalu, kapan seseorang yang mencintai Tuhan itu, patah hatinya?Â
Saya belum tahu persis tetapi ilustrasi ini bisa menjadi titik tolak refleksi saya tentang cinta seperti itu.Â
Sebuah pepatah Jepang berbunyi demikian, "Aku berkata kepada pohon amandel: ceritakan padaku tentang Tuhan! Lalu ia mulai berbunga". Ilustrasi di atas menjelaskan betapa dekatnya Tuhan dengan ciptaanNya. Saya kemudian berpikir, cara terbaik untuk mengenal Tuhan adalah dengan mencintai berbagai hal. Tuhan senantiasa menyediakan anugerah cinta bagi setiap orang dan baru akan memberikannya ketika manusia cukup hanya dengan menganggukkan kepala.Â
Itulah alasannya mengapa orang selalu menutup mata ketika berdoa, ketika menangis, atau ketika menyelami secara mendalam suatu peristiwa. Karena, hal-hal yang indah itu tidak bisa dilihat dengan mata tetapi dengan hati. Saya berani menyimpulkan demikian karena hati adalah mata yang tidak pernah tertutup. Mungkin karena alasan yang sama itulah, William Shakespeare menulis, "Cinta bukan dilihat dengan mata, tetapi dengan hati. Oleh sebab itulah, dewi cinta yang bersayap selalu dilukiskan buta".
Mencintai: Bergerak Keluar
Sebagaimana yang kita ketahui, cinta butuh "sarana" atau sesuatu yang melaluinya cinta itu menjadi mungkin. Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya Aku Ingin menulis, "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada". Betapa sederhananya mencintai itu. Pertanyaan yang sama akan muncul: apa "sarana" yang dibutuhkan untuk mencintai Tuhan?
Berbicara tentang Tuhan saja sudah rumit, apalagi mencintainya. Itu jauh lebih rumit. Demikian kesan pertama dari orang kebanyakan tentang konsep mencintai seperti ini. Tetapi, jika kita berusaha mendalami secara bijak bagaimana seharusnya mencintai Tuhan, kita akan menemukan betapa sederhana mencintaiNya. Sebuah pepatah Latin ditulis, "Ubi amor, Deus caritas est" yang artinya di mana ada Tuhan, di situ ada cinta.Â
Dengan kata lain, di dalam cinta, Tuhan ditemukan di dalam dunia, dan di dalam dunia, Tuhan ditemukan di dalam cinta. Karena itulah, novelis Rusia, Fyodor Dostoevsky pernah menulis demikian, "Cintailah semua ciptaan Tuhan, cintailah bagiannya masing-masing...cintailah setiap helai dedaunan, cintailah setiap berkas sinar, cintailah binatang, tanaman, juga benda yang tidak ber-roh sekalipun, dan akhirnya engkau akan mencintai Tuhan dan manusia secara utuh".
Berkaitan dengan hal di atas, orang Inggris mendefinisikan cinta sebagai to love means to reach out di mana mencintai berarti menjangkau orang lain. Nah, bagaimana sampai seseorang bisa menjangkau orang lain? Hal pertama yang perlu dilakukan adalah bergerak keluar dari diri. Lihatlah kura-kura! Satu-satunya kesempatan yang bisa membuat kura-kura melangkah maju adalah karena dia berani menjulurkan kepalanya ke luar.Â
Tidak pernah ada "mencintai tanpa bergerak keluar dari diri". Hanya melalui proses keluar dari sikap egoisme, ekslusivitas, dan kemapanan diri itulah, terdapat kemungkinan untuk mencintai. Dengan demikian, kita sering menemukan ungkapan seperti: "Aku mencintaimu karena aku peduli pada hidumu".
Di samping itu juga, melalui proses mencintai, seseorang dihadapkan pada kenyataan lain bahwa ternyata hidup dirasa begitu timpang tanpa kehadiran orang yang dicintai. Demikian pula mencintai Tuhan merupakan salah satu alasan mengapa orang selalu merasa begitu berdosa di hadapanNya.Â