Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Perlu Mencintai Tuhan?

1 November 2017   21:47 Diperbarui: 1 November 2017   21:50 2451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya katakan begitu karena Tuhan adalah tempat terbaik manusia meletakkan cermin dirinya. Bayangkan saja pada suatu ketika Tuhan berdiri bagaikan sebuah cermin jernih di hadapanmu, kamu memandang ke dalam diriNya dan melihat bayanganmu. Kemudian kamu berkata, kucinta kamu. Tetapi sebenarnya, kamu mencintai dirimu dalam diriNya.

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, manusia cenderung ingin menjadi seorang pribadi dewasa dan otonom. Tetapi di hadapan Tuhan, kita diajak menjadi seperti anak kecil, bukan sebagai orang dewasa yang otonom. Peribahasa sanskrit mengatakan, "Kalau sungai masuk ke laut, ia lupa akan nama dan kemasyurannya". 

Demikian juga, kaum bijak dan pandai dari dunia ini akan membuang jabatan dan ijazahnya pada saat mereka mendekati dan bertemu dengan Tuhan. Tidak mengherankan bila filsuf dan matematikawan ateis, Blaise Pascal sebelum meninggal menulis bahwa manusia hanyalah sebatang galah yang berpikir, un roseau pensant untuk menjunjukkan sekaligus kedahsyatan manusia dan kerapuhannya.

Mencintai Berarti Berharap

Cinta itu apa, bagaimana, darimana asalnya, kemana orientasinya, dengan cara apa ia bekerja, dan seterusnya, adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang selalu fakultatif jawabannya. Cinta adalah sebuah keadaan, makhluk atau entitas, yang kita merasa dekat bahkan terintegrasi ke dalamnya, tapi secara paradoksal justru kita tidak pernah (bisa/mungkin) memahaminya. 

Dalam dunia abstrak, mungkin cinta menempati strata abstraksi tertinggi, yang selalu gagal kita tangkap-bekap, kita rumuskan, falsifikasi, materialisasi atau kita ukur, tidak sebagaimana beberapa abstraksi di strata-strata di bawahnya. Sepanjang sejarah kebudayaan manusia, manusia merasa dipengaruhi, ditelanjangi, diperangkap bahkan disubordinasi oleh cinta, tanpa ia memiliki kapasitas kebudayaan apa pun untuk mengerti apa sesungguhnya "makhluk" yang begitu berkuasa itu.

Cinta tampaknya telah menjadi penguasa abadi yang manusia mati-matian ingin menggeser posisi itu, atau sekurangnya menjadi partner terbaik, untuk ikut merasakan kekuasaan itu. Kekuasaan yang tak tersentuh dan membuat kebudayaan (bangsa seluruh dunia) secara obsesif mendambakannya. Tapi makhluk satu itu bergeming. Ia ada dalam realitasnya sendiri. Ia ada untuk memengaruhi, bukan sebaliknya. Ia seperti tangan Tuhan yang menjalankan kuasaNya, tanpa makhluk lain dapat menggugat, mengganggu, atau mengoreksinya. Tuhan bicara melalui cinta.

Filsuf eksistensialis dari Prancis, Gabriel Marcel mengatakan bahwa mencintai seseorang berarti berharap kepadanya untuk selamanya. Sama saja hubungan manusia dengan Tuhan. Jika kita tidak miskin, tidak mengharapkan apa-apa dari padaNya, jika kita tidak ingin mendengarkanNya maka sebabnya adalah kita sudah tidak lagi mencintaiNya, tidak lagi percaya kepadaNya. Sejak kita tidak memperhatikan lagi saudara-saudara kita, suami dan isteri, sejak kita tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain, itu berarti kita tidak mencintai mereka lagi. Kita menganggap dan memperlakukan orang lain sebagai barang sebab perhatian dan pengharapan menentukan sikap kita terhadap orang lain.

Dengan mencintai Tuhan, sebenarnya manusia sedang berupaya mencintai dirinya sendiri. Mencintai diri sendiri merupakan titik tolak untuk mulai mencintai sesama. Oleh karena itu, saya bisa katakan, mencintai Tuhan berarti mencintai semua ciptaanNya tanpa kecuali. Paus Fransiskus dalam salah satu audensinya seperti yang dikutip oleh New York Times mengatakan, "Saya percaya pada Tuhan, tetapi bukan Tuhannya orang Katolik." Betapa mencengangkan pernyataan seperti itu. 

Demikian juga Mahatma Gandhi yang berani mengatakan, "Saya tidak memeluk agama tertentu. Agama saya adalah kemanusiaan." Mencermati pernyataan kedua tokoh terkenal di atas, saya berani menyimpulkan bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai Dia secara tak terbatas baik dari segi kualitas maupun caranya. Tanpa batas atau sekat primordial. Bulan bergerak tanpa berisik dan kembang mekar dalam diam. Demikianpun Tuhan yang adalah cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun