Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Nietzsche dan Nihilisme ke Wacana "Autosuperamento"

14 Oktober 2017   02:02 Diperbarui: 14 Oktober 2017   03:12 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paul Tillich dalam Systematische Theologie menulis: "Sebagaimana dalam Kristus kenyataan ilahi masuk ke dalam kenyataan duniawi, demikian pula sesuatu yang bersifat kristiani hanya bisa ada dalam yang duniawi, yang adikodrati hanya bisa ada dalam yang kodrati, yang suci hanya bisa ada dalam yang profan, yang diwahyukan hanya ada dalam yang masuk akal." 

Pada konsep ini, hanya ada satu dunia. Dengan itu, terjawablah keberatan Feuerbach dan Marx yang mengatakan bahwa agama hanyalah hiburan untuk dunia seberang, dunia sesudah kematian.  jalan pulang telah terpalang./Oleh beribu lantun doa dan/ayat succi yang mendesakku/ke tempat, yang diberi nama/neraka, yang entah/mintalah pada tuhan, tujuh/puluh tujuh pendoa/yang setia madahkan selarik/mazmur yang bersimbah/darah/Merunduk malu, meski/terpukul, kembali kubujuk ia/'kau harus pulang, doa kami/tak lagi menjumpai surga/tersesat dan hilang dalam/perjalanan menjumpai tuhan'/. Tragisnya, agama malah telah menjadi penghalang besar bagi perwujudan iman manusia oleh karena praktek klerikalisme dan tradisi yang ketat. Bahkan rumusan doa yang baku, yang didaraskan secara rutin tanpa pernah tahu doa itu disusun oleh dan untuk siapa. 

Singkatnya, penghayatan iman manusia masih sangat terbatas pada teks, tak berani beranjak dari sana menuju konteks "teks" dalam keseharian hidup. Tidak mengherankan jika kita sering menyaksikan betapa seseorang yang menghabiskan banyak waktu dengan berdoa namun dalam kenyataan hidup konkret gagal menemukan korelasi kreatif antara apa yang didoakan dengan penghayatan praktisnya. Orang ini mengingatkan saya akan seorang pekerja yang setiap saat ingin bertemu dengan majikannya dan pada saat yang sama menelantarkan pekerjaannya.

Bukan hal baru lagi ketika di mana-mana terdapat aneka pergolakan, kekerasan, dan diskriminasi sosial yang dilatarbelakangi oleh sikap fundamentalistik dalam agama tertentu. Memang, dalam konteks tertentu, rasanya agak janggal jika menempatkan agama sebagai satu-satunya alasan fundamental kelahiran potret buram di atas karena terdapat juga faktor lain seperti, kepentingan, politik, mekanisme pasar, dan sebagainya. 

Namun yang menjadi persoalannya adalah, semua pelaku kejahatan, pemerkosaan, dan penyelewengan terhadap Hak Asasi Manusia sejatinya adalah manusia beragama.'tuhan telah disesatkan oleh/tuan abdi tuhan/yang lupa kalau tuhan tidak/butuh darah/dan pintu surga tidak butuh/bangkai kepala untuk dibuka'/. Masih pantaskah Allah dibela? Dan jika masih, sesuatu atau seseorangkah  "ia"?

Autosuperamento

Membaca puisi Kristo Suhardi di atas, menghantar kita pada suatu horizon yang garing, bahkan garang. Teknik yang ditawarkannya. hemat saya adalah autosuperamento,melampaui diri. Selaras dengan itu, filsuf eksistensialis, Kierkergaard dalam salah satu sajaknya menulis: "Yang aku perlukan adalah kekuatan untuk menghayati kehidupan." 

Bukan kekuatan kehidupan pengetahuan, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan akar-akar eksistensi, sesuatu yang dapat menjadi pegangan seandainya seluruh dunia dan sekitarnya hancur-berantakan. Kecemasannya beralasan tatkala kemajuan saintisme pada gilirannya menjadikan manusia sebagai produk pabrik yang oleh Hemingway disebut, "manusia yang pergi di jalan gelap tanpa tujuan dan tanpa ke mana-mana," sehingga "manusia akan terbuang percuma," kata George Orwell. 

Jika demikian, manusia seperti apakah yang pantas hidup agar tidak terjebak dalam kecemasan T. S. Elliot sebagai "manusia rongga kosong dalam negeri keji"?. Albert Camus lalu menganjurkan Sisyphus, Goethe menampilkan Faust, dan Kristo Suhardi, serta Nietzsche tentunya, mengusung Zarathustura (ubermensch, supermen, adimanusia). Harapan akan datangnya sosok manusia tersebut secara sengaja disematkan Kristo pada penutup puisi Zaiarah II dengan menulis: ia akan datang lagi.. 

Dan hemat saya, keyakinan akan datangnya manusia jenis ini, lahir dari pergulatan luar biasa dalam diri Kristo sebagai seorang penyair. Atau secara blak-blakan, saya memberanikan diri untuk sekedar menafsir pergulatan eksistensial penyair-yang adalah calon imam-dengan konteks dunia di mana ia hidup dan berada. Dalam artikel ini, saya membatasi diri dalam penafsiran teks sastra tanpa perlu mengaitkan yang seharusnya tidak perlu-apalagi kehidupan panggilan penyair. Hanya dengan demikian, artikel saya ini diluputkan dari "keterlanjuran" untuk dipengaruhi oleh orang yang saya ulas karyanya.

Tidak ada pergulatan yang lebih besar daripada pergulatan yang terjadi di dalam diri manusia (dalam diri penyair Kristo). Reinholo Niebuhr dalam The Nature and Destiny of Man (1943) pernah mengungkapkan permasalahan pelik bahwa "manusia itu merupakan problem yang membingungkan. Salah satu keistimewaan serta keunikan manusia adalah bahwa manusia menjadi problem bagi dirinya sendiri." Derrida pernah menulis, "Saya tidak percaya orang (baca: iman) hidup terus, post-mortem." Tetapi kata-kata yang diutarakannya, yang ditulisnya, hidup terus, survive, di atas atau mengatasi(sur) hidup (vivre), melampaui atau mengatasi kehadiran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun