Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Nietzsche dan Nihilisme ke Wacana "Autosuperamento"

14 Oktober 2017   02:02 Diperbarui: 14 Oktober 2017   03:12 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Situasi kehidupan tanpa Allah yang menjadi dasar dan pegangan menjerumuskan manusia pada nihilisme. Dalam Die Frhliche Wissenschaft,Nietzsce bercerita mengenai orang gila yang membawa sebuah lantera menyala ke tengah-tengah pasar dan berseru terus-menerus: "Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!". Dan pada "Ziarah I", Kristo dalam nada yang sama, mencatat: Terlalu letih aku mencarimu tanpa peta dan arah/Aku tidak tahu/di mana persisnya engkau/berada/di persimpangan dunia ini//Barangkali.../kau terdampar dalam ritus/yang kusembah/atau tersesat dalam dogma/yang kupuja//Barangkali???

Dengan mengunyah nihilisme sambil mencaci maki diri sendiri, iman menjadi mungkin. Nihilisme sesungguhnya mengajak manusia yang menyandang predikat "beriman" untuk tidak telalu cepat menemukan kesimpulan final tentang Allah. Menurut perspektif eskatologis radikal, iman tidak pernah selesai (oleh Kristo, tereksplisit dalam morfem "Barangkali"), tidak pernah tersedia, tidak pernah terjamin, iman-selalu dan terus-menerus-merupakan loncatan ke dalam ketidapastian, ke dalam kegelapan, ke dalam ruang hampa tanpa pijakan. Menyitir filsuf Karl Jaspers, "bukankah keberadaan bukti berarti kematian iman?" 

Bahkan secara tragis, teolog Protestan Bultmann dalam kredonya, menulis: "...tidak mengandung dari Roh Kudus, tidak dilahirkan oleh Perawan Maria, memang menderita di bawah Pontius Pilatus, disalibkan, wafat, dan dimakamkan, namun tidak turun ke tempat penantian, tidak bangkit pada hari ke-3 dari antara orang mati, tidak naik ke surga." 

Saya tidak berani membayangkan apa reaksi umat beriman jika melafalkan kredo semisal ini. Proposisi ini mengisyarakan kewajiban menghadirkan proses dialektika di mana terbuka lebar peluang bagi pertentangan, saling menggigit, menggasak, dan memberontak guna mengasah ketajaman hakikat iman manusia. Kristo mengungkapkan konsep ini dalam diksi yang dipilih dan cenderung diulang beberapa kali dalam kedua puisinya, seperti: darah, sesat, tersesat, riuh, dan terkelupas.

Filsuf Michel Foucault, pernah "menyindir" Nietzcshe dengan berkata, "Tidak mungkin mengakui kematian Allah sambil menghidar dari kenyataan adanya kematian manusia." Konsekuensinya memang logis yaitu Nietzsche memang telah mati. Bahkan kematiannya diawali dengan situasi sekarat karena mengidap skizofrenia. 

Dari situ, dapat disimpulkan bahwa akibat dari adanya kematian Allah, selalu mengisyaratkan kematian identitas. Dalam puisi "Ziarah II (untuk Nietzsche)", Kristo membaca konteks tersebut dengan sangat baik. Saya kutip secara lengkap puisi itu-dengan maksud memudahkan pembacaan atas makna yang integral di balik kedalamannya yang tersembunyi atau mungkin sengaja menyembunyikan dirinya-demikian: Beratus tahun setelah/kepergianmu yang tak pernah/pulang/riuh buih badai yang/menggigil, antarkanku/melawatmu/di suatu waktu ketujuh, di langit/ketujuh belas, dan merajuk/'kau harus segera pulang, riuh/ribu rindu mendambamu'/Dibabat renyah rayu, ia/tersenyum kecut/aku tidak mungkin pulang,/jalan pulang telah terpalang./Oleh beribu lantun doa dan/ayat succi yang mendesakku/ke tempat, yang diberi nama/neraka, yang entah/mintalah pada tuhan, tujuh/puluh tujuh pendoa/yang setia madahkan selarik/mazmur yang bersimbah/darah/Merunduk malu, meski/terpukul, kembali kubujuk ia/'kau harus pulang, doa kami/tak lagi menjumpai surga/tersesat dan hilang dalam/perjalanan menjumpai tuhan'/Setengah kaget, ia bergurau/heran/tepat ketika sepotong ayat suci/terkelupas lacur/'Sia-sia, asah aza yang tidak/manjur. Kasi'an...'/Sedikit ragu, kukatakan/padanya/'tuhan telah disesatkan oleh/tuan abdi tuhan/yang lupa kalau tuhan tidak/butuh darah/dan pintu surga tidak butuh/bangkai kepala untuk dibuka'/Tampak tergesa, sambil/kenakan nalar dan sedikit/iman, ia berujar/'aku akan merajam tuan tuhan yang baru/yang lalai untuk ingat, tuhan/dari keabadian yang mereka/sembah/dalam sujud tak putus/tak pernah bertopeng/pembunuh'/Dan ziarah kala itu perlahan/mekar di bibir derita/Potongan ayat suci dan ritus/pudar terkelupas, putus/ia akan datang lagi...

Terdapat beberapa kerangka pembacaan sebelum memahami puisi yang 'vulgar' ini. Pertama, terdapat ragam bahasa dalam diskursus tentang Allah. Baik menggunakan bahasa percakapan, bahasa ilmiah, bahasa puitis, maupun "bahasa diam", toh tidak pernah sanggup membahas "Allah" secara niscaya. Bahkan-menyitir Jhon Orong, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia pada STFK Ledalero-morfem "tuhan" secara derivatif balik akan membentuk makna kontradiktif pada morfem "hantu". 

Hal ini menegaskan bahwa memang demikianlah Allah: tremens et fascinans, menggetarkan sekaligus menakutkan. Kedua, hakikat doa sebagai pengalaman iman. Rumusan doa, ritus-ritus, dan tradisi yang dihidupi oleh suatu agama tidak selalu menjadi ajang justifikasi kualitas iman seseorang. Pembakuan doa sebagaimana doktrin komprehensif moralitas kristen, itulah yang dikritik oleh Nietzsche. Dan dalam puisi di atas, Kristo dengan sangat baik mengangkat kembali tema besar yang pernah dikritik oleh Nietzsche tersebut. Ketiga, puisi ini ditulis secara naratif dan bukan terdiri atas beberapa bait melainkan satu kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu, penggalan kalimat yang tidak tepat sangat memengaruhi kualitas pemahaman atas puisi, selain daripada fragmen-fragmen yang terpisah bahkan bertolakbelakang.

Percaya Pada Allah Tanpa (Harus) Melalui Agama

Nietzsche, setelah lahirnya nihilisme, menganjurkan agama populer sebagai kompenisasi kekosongan hidup. "Kematian Allah" merupakan titik pijak awal bagi manusia untuk semakin kreatif dalam menghadapi kehidupan sesulit apa pun itu. "Allah" ini tidak lagi dibicarakan dalam terang iman-metafisis tetapi harus ditafsir dalam terang kodrati manusiawi disertai pada penegasan rumusan pernyataan poetik. "Allah" yang membuat manusia menjadi gamang dan gagu ketika menghadapi penderitaan dalam hidup harus diganti dengan kondisi baru yaitu kehendak untuk mengatasi diri sendiri dan aneka penderitaan yang menghadang. Dan ziarah kala itu perlahan/mekar di bibir derita, demikian Kristo menulis. Itu artinya, tidak ada hidup tanpa kehendak untuk mengatasi kehendak dan kekuasaan atas hidup itu sendiri. 

Demikianlah agama populer ini, lebih menganjurkan penderitaan daripada kebahagiaan. Dalam situasi demikianlah, hidup menemukan prinsip-prinsip tertingginya. Dan hanya dengan manusia menjadi "Allah" bagi dirinya sendiri, cara pandang terhadap hidup sebagai kompleksitas nilai-nilai senantiasa direvaluasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun