Dalam era modern di mana ekspansi industri kapitalisme berkembang sangat pesat, tidak jarang ditemukan berbagai masalah lingkungan hidup yang disebabkan oleh korporasi-korporasi tersebut, mulai dari pencemaran lingkungan hingga man-made disaster seperti yang terjadi di Indonesia yaitu kasus PT Lapindo Brantas di desa Porong Sidoarjo.Â
Fenomena kejahatan terhadap lingkungan oleh korporasi semacam ini dikenal dengan nama ecocide atau ekosida.Â
Terjadi perdebatan yang cukup menarik oleh para pakar hukum khususnya pakar hukum internasional dan Hak Asasi Manusia, apakah kejahatan terhadap lingkungan yang dilakukan oleh korporasi harus digolongkan sebagai pelanggaran HAM atau tetap diatur secara tersendiri dalam domain hukum internasional serta apakah jenis kejahatan lingkungan harus diadili oleh pengadilan yang memiliki yurisdiksi universal seperti ICC atau tetap dalam domain hukum domestik tiap negara?
Tulisan ini akan membahas ekosida dalam kerangka hukum internasional dan hubungan antara ekosida dengan korporasi
Ekosida Dalam Konsep Hukum Internasional
Dalam hukum internasional, istilah ekosida digunakan untuk mengkriminalisasi tindakan perusakan terhadap lingkungan hidup yang memberi dampak yang luas.
Istilah ekosida atau ecocide pertama kali diperkenalkan oleh Arthur Glaston pada tahun 1970 di Conference on War and National Responsibility di Washington DC. Ia menggunakan penamaan tersebut bagi tindakan perusakan dan penghancuran yang masif terhadap ekosistem. Pada masa itu, istilah ekosida muncul setelah banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai dampak dari perang khususnya perang di Vietnam dan di beberapa wilayah Afrika, dimana negara peserta perang lah yang dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan yang ditimbulkan tersebut.Â
Kemudian pada tahun 1978, International Law Comission (ILC) dalam Draft articles on State Responsibility and International Crime memasukkan perusakan lingkungan sebagai salah satu jenis kejahatan internasional, namun belum menggunakan istilah ekosida. Pada tahun 1987 ILC kemudian menyatakan pentingnya melestarikan lingkungan hidup bagi keberlangsungan hidup manusia dan mempertimbangkan ekosida sebagai salah satu jenis kejahatan internasional yang serius, setara dengan agresi, kolonialisme dan penggunaan senjata pemusnah massal.
Pada tahun 1991, dalam Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, ILC mengkategorikan 12 jenis kejahatan salah satunya adalah wilful damage to the environment atau kerusakan yang disengaja terhadap lingkungan hidup, yang memiliki bangunan konsep yang sama dengan ekosida. Dan menempatkannya sebagai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia.Â
Namun, meskipun telah dipertimbangkan sebagai salah satu jenis kejahatan internasional oleh ILC, pada tahun 1998, ketika Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional (pengadilan internasional pertama yang memiliki yurisdiksi mengadili tindak pidana internasional dan bertujuan mengakhiri impunitas) dibuat, ekosida tidak dimasukkan sebagai jenis pelanggaran HAM yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional.
Hingga kini upaya untuk mengkategorikan ekosida sebagai pelanggaran HAM dan menjadi bagian dari yurisdiksi universal terus dilakukan, misalnya dengan mengupayakan untuk mengintegrasikan ekosida ke dalam Statuta Roma (perjanjian internasional terkait Mahkamah Pidana Internasional) seperti yang dilakukan oleh Polly Higgins, juga dengan membuat beberapa rancangan undang-undang terkait ekosida seperti yang dilakukan oleh Hamilton Group di Inggris