"Alex...!!!" teriak seseorang dari ujung telepon. Aku sungguh benci bila ada seseorang yang bersikap tanpa etika seperti itu. Yang membuatku geram pada saat itu adalah orang yang meneleponku merupakan orang yang mengajariku tentang apa itu etika dan sopan santun, kepala sekolahku.
Aku segera membuka kelopak mataku yang masih menempel erat seakan ada lem yang merekatkan mereka.
"Alex..! Kamu sudah dimana?!" terdengar sepucuk suara lagi dari ujung telepon selulerku. "Sudah hampir sampai di Sekolah, Bu." Jawabku singkat.
Jarum pendek jam tanganku sudah menunjuk angka 11 dan jarum panjangnya tepat di satu angka setelahnya. Aku sudah terlambat 15 menit dari waktu dimana aku harus sudah berada di sekolah.
Segera saja aku mengenakan kemeja putih polos berkerah dan jas hitam serta dari kupu-kupu yang dipinjamkan oleh sekolahku tanpa melepas kaus lusuh yang aku gunakan untuk tidur. Aku tidak terlalu memikirkannya tetapi ibuku yang memiliki hidung yang super sensitif menyamakan baunya dengan kandang kerbau. “Masuk sekolah di tanggal merah hanya untuk sebuah pertunjukkan bodoh?? Yang benar saja… ini bisa membuatku gila.” Gerutuku dalam hati.
Hari ini sekolahku akan menampilkan persembahan orkestra di sebuah pusat perbelanjaan di pusat ibukota Indonesia dan aku menjadi satu dari puluhan orang yang diikut-sertakan dalam acara tersebut.
Ketika aku sampai di sekolah, aku menyadari bahwa aku terlambat 25 menit dan bus yang berisikan teman-temanku sudah meninggalkan sekolah 10 menit yang lalu.
Melihat bis yang sudah tiada itu membuatku senang sekaligus sedih. Aku senang karena tak harus bertemu dengan kepala sekolah yang benar benar aku benci tetapi aku sedih karena pujaan hatiku ikut bersama bis itu. Semoga saja hatinya tak ikut pergi jauh dariku.
Nampaknya hari ini tidak akan diliputi kesenangan sama sekali karena Ibu Dare, si kepala sekolah yang dijuluki “Sang Ratu Tega” itu sudah menunggu “mangsa” didepan pintu masuk utama sekolahku dan “mangsa” yang dimaksud adalah aku.
Ibu Dare menatapku dengan senyum palsu dan tatapan tajamnya seolah-olah ingin berkata, “Kalau saja Ibu Juni (Guru musik yang memasukkan namaku dalam daftar orang yang akan diikut-sertakan dalam acara itu) tidak membutuhkanmu, mungkin aku sudah meyincang tubuhmu.”
Aku berjalan dengan langkah gontai dan ekspresi seakan-akan tidak ada hal yang lebih buruk dari bertemu dengan dirinya.
“Pagi amat datangnya, Lex!” ucapnya dengan nada setengah menyapa, setengah membentak, dan setengah mencibir. Aku bertanya dengan ekspresi seperti orang idiot, “Bis-nya kemana, Bu? Kok Ibu nggak ikut bis sih?” Ibu Dare tidak menjawab. Namun, aku bisa menebak ia ingin berkata, “Kamu berani-beraninya nanyain bis-nya kemana? Kalau bukan gara-gara kamu, Ibu sudah duduk santai didalam bis! Dasar Otak Kerang.”
Tiada satupun kesalahan (bahkan batuk di kelas) yang luput dari hukuman Ibu Dare. Mungkin itulah yang membuatnya dijuluki “Sang Ratu Tega”. Hari ini terasa semakin buruk ketika aku harus memasukkan alat-alat music serta pengeras suara kedalam mobil yang dikhususkan untuk membawa barang. Tanganku seakan hampir patah dan tuksedo yang aku kenakan dihiasi banyak noda debu.
Aku sungguh penasaran darimana si guru killer itu mendapat nomor teleponku. Namun, aku hanya akan memanggil ajal untuk datang menjemput apabila aku berani menanyakannya kepada Ibu Dare.
Tiba-tiba datanglah sebuah mobil mewah bermuatan 7 orang yang dikendarai seorang bapak bapak yang mengenakan seragam yang sama sepertiku. Ia adalah satu-satunya orang yang bisa menerima Ibu Dare apa adanya. Ya paling tidak menurutku. Lelaki itu bernama Fran dan ia adalah suami dari Ibu Dare.
Tak butuh waktu lama bagi Ibu Dare untuk berjalan kearah mobil itu, membuka pintunya, masuk, menutupnya kembali, membuka jendela mobil, dan berkata, “Aex, kamu berangkat naik mobil barang yaa…”
Ia pergi dan aku berkata dalam hati, “Dosa apa aku…? Kenapa aku harus berangkat ke pusat perbelanjaan mewah dengan menaiki mobil L-300 tua yang tidak dilengkapi AC (sebenarya ada, tapi rusak dan tidak pernah diperbaiki) sedangkan “Si Ratu Tega” beserta suaminya menaiki mobil mewah yang 2 baris belakangnya masih kosong melompong.
Aku duduk bersebelahan dengan supir tua dengan gaya menyetir layaknya pembalap profesional yang menurutku lebih menjerumus ke nekat. Ia mengendarai mobilnya meliuk-liuk melewati mobil-mobil yang ada didepannya. Bunyi klakson sepertinya sudah menjadi sahabatnya di jalan raya. Aku bergumam dalam hati, “Pantas saja Ibu Dare tidak pernah mengizinkan sopir ini mengendarai Alphard-nya. Naik L-300 aja sudah kayak naik Ferrari, apalagi Alphard…”
Pengap, gerah, dan kepanasan. Mungkin itulah yang akan anda rasakan apabila anda menaiki mobil tua ini tanpa membuka jendelanya selebar mungkin.
Ditengah jalan tol, aku menerima sebuah pesan singkat dari sang pujaan hati. Isinya sungguh membuatku geram. Tetapi, entah bagaimana aku tak pernah bisa marah padanya. “Halo Alex…! Met siang…! Kamu udh dmana? Btw, tdi yg ksh tau nomor km ke Bu Dare itu aku lho… aku kaget bgt pas dia teriak2 pas nelpon.” Kurang lebih isinya seperti itu. Seketika, mobil yang aku tumpangi mengerem mendadak. Telepon selulerku terbang keluar jendela dan untungnya, jalanan didepanku sedang macet total sehingga aku bisa membuka pintu dan mengambil HP yang hampir terlindas itu.
Tak lama berselang, aku tiba di lokasi dan si sopir memarkir molilnya di area bongkar muat. Aku menurunkan barang-barang bawaan selagi ia mencari troli untuk mengangkut barang-barang yang kamu bawa.
Kami pergi ke belakang panggung untuk meletakkan barang-barang. Setelah itu, aku pergi ke Lobi Utama untuk berkumpul dengan rekan-rekan seperjuanganku di pentas nanti sedangkan si sopir menolak ikut setelah ku ajak dengan alasan menjaga barang-barang bawaan. Aku lega ia tidak ikut denganku karena ia hanya akan membuatku malu seandainya sopir berusia kepala 5 itu ikut denganku.
Sesampainya aku di Lobi Utama, aku tidak mendapati kehadiran teman-temanku dan Ibu Dare. Aku melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 1 siang. Pentas baru akan dilaksanakan pukul 15.00 dan 19.30 dan panggung masih belum siap.
Seketika aku melihat sebuah bis besar berisikan wajah-wajah yang aku kenal. Ternyata, bis yang sudah berangkat meninggalkan sekolah 30 menit sebelum aku itu baru tiba di lokasi.
Aku melihat Clarin, pujaan hatiku turun dari bi situ sembari menenteng tas ransel kecil. Ia menghampiriku, menyapaku, lalu pergi dengan sahabatnya. Kami semua berkumpul di sebuah tempat didekat toilet untuk pengarahan sejenak.
Setelah pengarahan selesai, kami diperbolehkan pergi berkeliling pusat perbelanjaan itu dan diwajibkan kembali 1 jam berselang. Aku, John, Samuel, dan Dani membuntuti Clarin, Virani, dan Sadle yang sejak awal menyadari kami membuntuti mereka.
Ketika aku kembali melihat senyum Clarin, aku mulai berfikir bahwa itu adalah akhir dari hari buruk ini. Namun, ternyata yang terjadi di pagi hari tadi hanyalah salam pembuka dan kejutan –kejutan lainnya sudah menunggu didepan mata.
Kejutan pertama yang membuat aku seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat dengan mata kepalaku adalah aku menyaksikan Clarin berfoto dengan John dan Samuel. Alangka hancurnya hatiku kala aku melihat Clarin menggenggam erat tangan John dan Samuel. Tak hanya itu, foto mereka diunggah ke jejaring sosial dan membuatku cemburu setiap kali aku melihatnya.
Kejutan itu bermula saat aku duduk di sebuah bangku untuk membuat sebuah puisi untuk Clarin. Ketika aku kebingungan dan ingin meminta masukan dari John, semuanya sudah pergi meninggalkanku. Aku mencari mereka dan melihat kejutan pertama yang sudah dijabarkan sebelumnya.
Aku mencoba untuk tidak memikirkannya walaupun aku tak bisa. Tanpa aku sadari, waktu untuk berkumpul kembali sudah tiba. Para pria sibuk sendiri dengan gadgednya dan yang wanita sibuk merias wajah mereka. Sungguh aku terkejut ketika wajah Clarin yang sudah putih itu menjadi terlihat seperti orang mati. Ia ditutupi bedak putih dan lipstick merah darah. Aku sempat bertanya padanya dengan sebuah pertanyaan konyol, “Aku nggak ingat kapan kamu mati.” Dia dengan spontan menanggapi, “Aku belum mati… kamu nyumpahin aku??” Namun bagaimanapun, ia tetap terlihat cantik walaupun wajahnya sudah cukup mirip dengan mumi.
Performance berjalan dengan lancar dan kami diberi jeda istirahat sampai pukul 17.00. Aku dan teman-temanku melakukan hal yang kurang lebih sama dengan apa yang kami lakukan sebelumnya. Dan sekali lagi, Clarin membuatku amat amat cemburu.
Kali ini, ia merangkul seorang anak SMA yang lebih tinggi dariku. Perlu diketahui, pertumbuhanku sungguh tidak normal dan tinggiku sudah menyamai bahkan melampaui anak SMA di usiaku yang ke-13. Hanya pria tampan yang digandeng Clarin yang lebih tinggi dariku di sekolah.
Usai kejutan kedua, aku rasa hatiku sudah cukup banyak tersayat dan perlu dibawa ke ICU. Aku terlalu terluka dan tidak tampil baik di pertunjukkan kedua. Namun, siapa yang peduli dengan itu?? Tidak ada yang menyadari apalagi peduli.
Hari itu akhirnya berlalu. Aku berharap hari esok akan lebih baik dan aku bisa lebih dekat dengan Clarin.
Aku membuka akun facebookku dan mendapati Clarin sedang on-line. Segeralah aku memulai pembicaraanku dengannya.
Hari itu nampaknya akan menjadi lebih baik apabila ia tidak memberitahuku bahwa ia tidur di pundak Rei, salah satu teman sekelasku disepanjang perjalanan pulang. Aku tidak ikut dengan rombongan karena aku memilih pulang dengan angkutan umum.
Sungguh aku cemburu dibuatnya dan sepertinya dia cukup senang dengan itu. Mungkin dia tetap tidak akan peduli dengan itu walaupun ia membaca cerpen ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI