[caption id="attachment_78121" align="alignnone" width="461" caption="Gerai Mikro Al-Amin, Jl.Kalibata Timur,Jaksel menolak Pajak warteg di DKI Jakarta"][/caption]
Apa yang sudah dilakukan Pemprop DKI Jakarta selama ini kepada para pemilik warung Tegal (Warteg)? Apakah sudah memberikan rasa nyaman berusaha; penambahan modal kerja; atau keamanan dalam berusaha serta penyuluhan kesehatan khususnya kebersihan penyajian makanan warteg?
Jawabnya: NOL !
Jadi, bila demikian, maka hendaknya Dinas Pelayanan Pajak Pemerintah DKI Jakarta jangan bermimpi untuk membebani pajak terhadap sejumlah rumah makan dengan dalih atas dasar azas keadilan dengan dali warung tegal sama memiliki omzet atau bahkan lebih dari pada restoran. Mimpi Gubernur DKI Jakarta yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak Pemprov DKI, Iwan Setiawandi pada Kamis 2 Desember 2010 di Jakarta hendaknya dibawa dulu ke cermin, dan bertanya: sudah pantaskah meminta sebelum member apa-apa kepada pelaku usaha Warteg. Rencana Pemerintah DKI Jakarta segera memungut pajak bagi warung Tegal yang miliki omzet Rp60 juta ke atas per tahun, jelas membuat pedagang warteg khawatir dan terbebani dengan pengenaan pajak ini karena menganggap keuntungannya terpangkas akibat pajak. Padahal ujung-ujung, pajak ditanggung oleh para pembeli sehingga pada praktiknya para pedagang warteg menaikkan harga 10 persen saat pembeli membayar makanan. Hebatnya lagi, rencana pungutan pajak bukan hanya dikenakan pada warteg saja tetapi meliputi setiap jasa yang menjual makanan dan minuman yang sifatnya menetap tidak keliling, maka dikenai pajak. Sehingga, meski warung bubur, warteg, warung Padang, jika omzetnya mencapai Rp60 juta, otomatis akan dikenakan pajak. Rencananya, sistem penarikan pajaknya untuk warteg masih akan menggunakan transaksi manual. Oleh karena itu, dengan cara official atau melakukan pengecekan dan pemerintah yang menetapkan berapa beban pajaknya, dan self assessment. Atau cara kedua, para pedagang makanan yang menyetor pajak langsung ke kantor pajak sesuai pemasukan yang mereka dapat. Pemerintah DKI Jakarta berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak dengan memberlakukan pajak restoran dan rumah makan jenis usaha warung tegal (warteg) sebesar 10 persen bagi warted dengan omzet Rp.60 juta ke atas per tahun. Perlu diketahui, pengenaan pajak kepada warung tegal telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dan akan diberlakukan mulai 1 Januari 2011. Aturan telah masuk ke badan legislatif daerah (Balegde) DKI Jakarta.Dengan rencana kenaikan pajak ini, sejumlah pemilik warung tegal di Jakarta mengaku kaget dan keberatan dengan pemungutan pajak. Padahal pemungutan hanya dilakukan terhadap warung yang memiliki penghasilan Rp60 juta ke atas setiap tahun. Pemilik Warung Tegal (Warteg) di Jakarta kaget mendengar rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk warung makan, termasuk Warteg, pada 1 Januari 2011 nanti. Mengetahui rencana kebijakan masyarakat, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana Pemerintah Daerah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo untuk menarik pajak dari pemilik warung nasi yang beromset Rp167.000 per hari, termasuk dari warung tegal alias warteg. Menurut Koordinator Gerai Mikro Al-Amin, Amrizal, menyampaikan pendapat bahwa selagi tidak ada transparansi anggaran dan masih ada kebocoran 40% Anggaran sebagaimana yang disinyalir KPK, maka hendaknya kebijakan Gubernur DKI Jakarta dinyatakan batal demi hukum dan keadilan. Rizal bertanya, selama ini pajak yang dipungut dari sektor lain dikemanakan saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H