Akhir -akhir ini banyak terjadi kekerasan, hujatan dan perbuatan anarkis yang semuanya berawal dari keberingasan perilaku beragama, sungguh mengherankan bagi kita semua yang telah lama hidup dinegara yang berazaz Pancasila. Nilai-nilai luhur yang telah mengkristal di lubuk sanubari tentang sila pertama pancasila telah mulai digerogoti oleh sekelompok orang yang mengibarkan bendera Islam yang notabene agama wahyu yang cinta damai..
Beberapa hari yang lalu saya sangat terkesan dan terinspirasi tulisan cendekiawan muslim (DR.M.Labib) di salahsatu media :
“Agama adalah sebuah dasar yang mengikat setiap penganutnya. Islam adalah agama yang mengikat setiap muslim, Kristen adalah agama yang mengikat setiap Kristiani dan seterusnya, sementara Pancasila adalah dasar yang mengikat setiap warga negara Indonesia, apapun agamanya untuk bisa hidup bersama, bersinergi dan tidak saling mengganggu.”
“Sementara Pancasila adalah sebuah bentuk upaya membreak down, menurunkan nilai-nilai agama yang sakral dalam bentuk kontrak sosial, dan itu dibenarkan oleh agama.Aufuu bil’uquud, penuhilah janji-janji itu, itu disebutkan dalam Al-Qur’an. Misalnya, khusus di rumah saya, saya buat aturan, dilarang siapapun yang berada di dalam rumah saya untuk merokok. Meskipun itu tidak ada dalam teks suci Al-Qur’an maupun hadits Nabi, wajib bagi siapapun untuk mematuhi aturan yang saya buat, jika berada dalam rumah saya. Dan aturan itu dibolehkan, dan telah menjadi kontrak sosial. Jika kesepakatan itu dilanggar, itu sama halnya melakukan pelanggaran agama. Sama halnya, membuang sampah sembarang tempat di negara yang telah menetapkan aturan untuk membuang sampah pada tempatnya, maka telah melakukan pelanggaran dua dimensi, bukan saja melanggar hukum dan aturan negara, namun juga telah melanggar ketentuan agama. Sebab agama memerintahkan untuk memenuhi janji-janji yang telah disepakati.”
“Karena hanya sebuah upaya penafsiran, makanya Pancasila bukanlah agama. Dia hanyalah kontrak sosial yang dibuat untuk dipatuhi bersama melalui proses demokrasi. Semisal negara Iran , namanya Republik Islam Iran, negara Islam itu artinya negara yang konstitusinya disimpulkan dari Islam. Jadi Islam yang dijadikan negara itu, adalah Islam Persepsi, Islam Konsepsi, Islam Interpretasi, Islam pemahaman, bukan Islam sebagai wahyu yang transenden sebab itu tidak akan pernah menjadi sebuah negara. Jika Islam yang wahyu itu dijadikan sebagai sebuah negara itu akan mereduksi Islam. Islam dijadikan dasar negara di Iran itu melalui proses referendum, melalui jalur-jalur demokrasi dan legislasi yang ketika itu dijadikan aturan dan konstitusi negara, Islam itu bukan agama lagi. Misalnya, siapapun perempuan dewasa yang berada di Iran, wajib untuk mengenakan kerudung atau jilbab. Megawati waktu ke Iran, harus mengenakan kerudung, menteri luar negeri Swiss waktu ke Iran harus mengenakan kerudung. Jadi aturan mengenakan kerudung itu mengikat siapapun perempuan yang berada di Iran, apapun agamanya. Aturan mengenakan kerudung bukan lagi menjadi aturan agama Islam yang hanya mengikat setiap muslimah, tapi telah menjadi aturan konstitusi negara yang harus dipenuhi semua warga negara. Begitupun kalau mau menjadikan aturan tersebut di Indonesia. Lewatilah proses demokrasi yang ada, menangkan pemilihan, masuk dalam proses legislasi, amandemen undang-undang, masukkan aturan Islamnya, dan kalau itu disepakati, itu bukan lagi aturan Islam tapi telah menjadi konstitusi negara yang mengikat seluruh warga negara.
Bukan malah dengan cara-cara yang tidak demokratis, tiba-tiba bawa pentungan dengan beringas dan bertakbir.. maksa-maksa orang untuk sepakat dengannya .
“Islam dan Pancasila itu tidak dikotomis. Sehingga masing-masing tidak membawa perspektif yang berbeda. Kepemimpinan menurut Islam adalah kepemimpinan menurut Pancasila. Bedanya, Islam adalah wahyu, sementara Pancasila adalah hasil dari sebuah capaian peradaban yang dibangun berdasarkan kontrak sosial yang bersumber dari akal sehat. Wahyu adalah sesuatu yang mutlak, abadi, transenden dan bersifat ketuhanan. Dia berada dalam ruang sakral dan bersifat vertikal. Yang Intrepretasi dan upaya penafsiran wahyu tersebut tunduk pada akal sehat, dan Pancasila adalah upaya untuk menafsirkan wahyu yang transenden itu dalam sebuah kontrak sosial yang mengikat siapapun yang berada di dalamnya.”
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H