Proses perkembangan industri kendaraan listrik di Indonesia di dukung oleh adanya keinginan untuk mengatasi polusi udara dengan cara mengurangi gas rumah kaca. Mendukung proses ini, Pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berisikan pembatasan ekspor impor bijih nikel dan bauksit oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan ini pun bertentangan dengan Pasal XI.1 GATT yang melarang penerapan pembatasan di pasar global.
Sumber daya mineral merupakan komoditas utama dalam menghasilkan lebih banyak produk-produk manufaktur, US Geological Survey dalam artikel surveinya yang berjudul “Mineral Commodity Summaries 2020” menyebutkan bahwasannya Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar dan cadangan bauksit terbesar nomor urut ke-6 di dunia. Namun, Indonesia melakukan pembatasan pada aktivitas ekspor impor bijih nikel dan bauksit dengan alasan yaitu ingin mengolah bijih nikel dan bauksit untuk lebih ditingkatkan nilainya dibandingkan dengan langsung mengekspor bahan mentah guna menaikkan nilai jual dari kedua mineral tersebut. Sementara itu, harga jual bijih nikel dan bauksit terus meningkat, akibat yang dirasakan oleh pasar internasional yaitu perdagangan global menjadi tidak efektif yang dapat menghilangkan kesejahteraan domestik dan global secara substansial dan tentunya sangat mempengaruhi ketidakstabilan harga pada pasar global dalam jangka pendek.
Peraturan Menteri Energi dan Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Mineral dan Batu bara secara tegas memberlakukan pembatasan ekspor bijih nikel dengan konsentrasi di bawah 1,7% dari standar pengolahan dan bauksit tercuci dengan konsentrasi di atas 42% dari standar pengolahan. Pasal 62 A mengatur bahwa ekspor bijih nikel masih diperbolehkan hingga akhir tahun 2019 dan sebaliknya. Kemudian Pasal 46 menyatakan kuota ekspor bauksit diberikan hingga awal tahun 2022 dengan beberapa persyaratan beban. Artinya, larangan ekspor akan diberlakukan untuk kedua mineral tersebut. Atas kebijakan ini, Uni Eropa mengambil tindakan hukum dengan mendesak World Trade Organization (WTO) untuk membentuk panel guna membahas sengketa ini. Uni Eropa menganggap Pemerintah Indonesia menetapkan peraturan yang menerapkan pembatasan ekspor bijih nikel dan bauksit. Namun, meninjau aturan yang termuat pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1994), maka kebijakan yang diberlakukan oleh Indonesia bertentangan dengan apa yang termuat dalam perjanjian internasional tersebut. GATT melarang negara anggota mengambil setiap tindakan yang mempengaruhi distorsi perdagangan internasional.
Menurut Pasal XI.1 GATT 1994, melarang pembatasan perdagangan yang berupa kuota, izin impor atau ekspor. Namun, pemerintah tetap diberikan kebebasan dalam mengintervensi hambatan perdagangan dengan mengenakan bea keluar. Selanjutnya, menurut Pasal XI.2 (a) GATT 1994, negara-negara anggota dibenarkan untuk memberlakukan pembatasan ekspor apabila hanya berlaku sementara; diterapkan untuk mencegah atau mengurangi kelangkaan kritis; dan diberlakukan pada produk esensial bagi pihak pengekspor. Adapun yang menjadi dasar bagi Indonesia dalam menerapkan larangan ekspor tersebut yaitu bertujuan untuk mendukung persiapan pengembangan industri hilir mineral. Indonesia memiliki alasan dalam memberlakukan pembatasan ekspor mineral ini karena memenuhi syarat sementara, kelangkaan kritis dan produk esensial dianggap kurang dapat dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia. Beberapa persyaratan yang diberikan oleh ketentuan tersebut tampaknya tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia.
Namun, pengenaan bea keluar dapat dilakukan oleh Indonesia berdasarkan Pasal XI.1 GATT 1994. Pengaturan tersebut melarang negara-negara anggota untuk memberlakukan pembatasan yang meliputi kuota ekspor dan perizinan, termasuk larangan ekspor secara total. GATT 1994 tidak mengatur mengenai bea keluar. Selain itu, adanya ketentuan bea keluar dapat menguntungkan Indonesia untuk mengenakan bea keluar yang lebih tinggi untuk mengendalikan ekspor sumber daya mineral. Hal tersebut bisa menjadi langkah alternatif praktis yang memberi pasar global pilihan apakah negara lain akan mengkonsumsi bahan baku dari Indonesia atau mencari produsen atau negara lain.
Selain itu, pengenaan tarif yang lebih tinggi dapat dilakukan karena ketentuan GATT 1994 tidak secara eksplisit mengatur tarif ekspor produk. Sebaliknya, GATT 1994 hanya mengatur tarif dalam hal mengimpor produk sebagaimana diatur dalam Pasal II.1 (b) pada Jadwal Konsesi. Bea keluar mungkin dapat memberikan keuntungan bagi negara dan dapat diberikan sebagai pendapatan tambahan. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jun Kazeki dalam Analysis of Non-Tariff Measures: The Case of Export Duties (2002), mengungkapkan bahwa bea keluar dapat dikenakan untuk meningkatkan pendapatan fiskal dan mendukung pengembangan industri hilir, khususnya di negara berkembang dan negara kurang berkembang.
Untuk jangka waktu saat ini, Pemerintah Indonesia dapat mengenakan pajak progresif dimana bea masuk dapat naik ketika harga global sedang meningkat, sedangkan bea keluar jika harga komoditas sedang turun. Langkah ini dapat dilakukan bagi Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu produsen utama mineral tersebut. Dengan demikian, konsumen global akan relatif membeli mineral dari Indonesia.
Hanny Sukma Ardiana (hannyy.sa25@gmail.com) – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H