Hingar bingar kampanye Pilkada DKI sudah selesai, besok kita harus menerima apapun hasil pemilihan. Itulah demokrasi, menang atau kalau kita tetap akan menghargai yang terpilih. Gagal move on hanyalah bagi orang-orang yang tidak mengerti arti menjadi warga negara yang baik dan benar. Sebab itu masing-masing pendukung haruslah menyiapkan hati untuk kalah, bukan hanya untuk menang.
Ahok atau Anies adalah dua orang yang selalu saya dukung untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Tapi sayangnya tidak bisa 100% bersukacita di Pilkada DKI ini. Seharusnya siapapun yang menang, saya adalah salah satu orang yang akan tertawa, karena calon-calonya adalah orang yang sudah lama diharapkan ada di panggung politik Indonesia Baru. Tapi, realitasnya, hampir 6 bulan ini saya dan "banyak" teman yang lain merasa kecewa berat dengan cara politik yang dipilih mas Anies untuk mengalahkan Ahok.
"Pertempuran" kecil antara Pandji (pendukung Anies), dan Edward Suhadi (pendukung Ahok) di twitter bisa menggambarkan apa yang berkecamuk diantara pemilih rasional nasionalis yang pernah atau masih mendukung Anies. Â Tidak heran setelah Tsamara Amany, Rian Ernest, muncul lagi surat "mantan",Octafiandri Hodir, yang viral di media sosial (baca: 5Â Pesan dari Sang Mantan untuk Anies Baswedan).
Â
Kita dulu adalah orang-orang yang percaya Anies, dan kita punya mimpi yang sama, Indonesia Baru, dan bersama kita rajut tenun kebangsaan itu.  Tapi sekarang ini, kita kehilangan kepercayaan itu. Di pihak lain, pesan yang saya baca dari para pendukung nasionalis yang "ngotot" membenarkan cara Anies adalah Anies tidak berubah, tetap pemersatu, ini hanya politik, nanti kalau menang "semua akan diberesin" Anies.
Untuk bisa percaya logika berfikir bahwa Anies bisa beresin semua kerusakan akibat politik SARA yang dimainkan itu sangat sulit, apalagi dengan semakin kuatnya indikasi bahwa dibelakang Anies yang paling berpengaruh adalah Jusuf Kalla.
Dari rententan manuver politik yang sudah dilakukan, indikasi bahwa "dalang" Anies sebenarnya adalah JK adalah sesuatu yang paling  masuk akal.  Anies bukan radikal, tapi oportunis sektarian, sama persis seperti Jusuf Kalla. Apabila lebih vocal, oportunis sektarian akan lebih seperti Amien Rais (baca : Pilkada DKI 2017 Memperlihatkan Anies Baswedan Mengikuti Jejak Amien Rais)
Jadi apakah Anies bisa dipercaya lagi?
Apabila Anies menang, maka kesempatan untuk membuktikan bahwa dia masih pluralis, nasionalis, dan memegang tenun kebangsaan masih terbuka. Minimal mencoba untuk memperbaiki semua kesulitan yang ada. Dalam skenario ini, Anies akan menghancurkan radikalisme dengan melarang FPI, HTI, FUI, dan Wahabi, mempersulit gerak Cendana, menarik garis dengan JK, merapat kembali ke para relawan nasionalis. Â Sebuah skenario yang sangat sulit untuk dilakukan, bisa dikatakan mustahil.
Apabila Anies kalah, maka pilihan politik yang ada adalah mengabdi kepada Prabowo melalui Gerindra. Untuk kembali ke Indonesia Mengajar, ataupun gerakan sosial yang nasionalis, kecurigaan itu akan sulit dihilangkan. Atau berlabuh ke PKS. Â Inipun bukan opsi yang bagus untuk gaya Anies yang berjualan nasionalis.
Jadi, either way, posisi Anies secara politis sudah dikotakkan. Â Satu-satunya yang bisa mengeluarkan Anies dari kotak oportunis sektarian adalah niat hati yang benar-benar tulus, dan waktu. Dan seperti percakapan di suatu waktu dengan Anies, saya mengaminkan hanya Tuhan yang tahu hati. Â Artinya, kita hanya bisa melihat yang terlihat dan menduga melalui rentang waktu keputusan-keputusan yang diambil apakah hati kita benar atau tidak.