Melihat perdebatan teologis tentang Islam Nusantara, membawa saya yang non-muslim ikut berfikir dan berproses dalam pencarian iman saya sendiri. Â Dalam konteks kebangsaan, semakin hari semakin terlihat butuhnya 'dialog' yang menjembatani antar kepercayaan untuk mendapatkn platform bersama 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Â Dalam konteks itu, dialog tentang kenusantaraan ini menjadi sangat penting.
Menurut pengamatan saya, keberatan akan Islam Nusantara karena Islam itu cuma satu dan tidak bisa dikotak-kotakkan.  Sementara pendukung konsep Islam Nusantara melihat bahwa Islam yang dihidupi dalam budaya kenusantaraan itu lebih pas daripada menggunakan budaya lain.
Kekristenan yang secara budaya pada dasarnya adalah yudaisme (agama yahudi) yang dilanjutkan sampai masa Yesus Kristus tidak bisa lepas dari isu prinsip yang sama. Â Bahkan lebih kompleks, kekristenan modern sudah tidak lagi dipengaruhi oleh yahudi tapi lebih dipengaruhi oleh barat. Â
Jadi kalau konteks Islam mungkin ada isu Arab vs Nusantara, dalam konteks Kristen ada isi Yahudi & Barat vs Nusantara. Â Dan ini harus diselesaikan secara teologis sekaligus kebangsaan. Â Secara teologis, ahli-ahli agama masing-masing lebih baik duduk dengan kepala dingin dan berdialog daripada saling melontarkan tuduhan-tuduhan yang saling menyerang secara frontal.
***
Secara nyata Gereja Kristen Sunda, Jawa, Batak, dsb sudah hadir dan tetap eksis. Â Di Korea, Jepang, Vietnam, Kamboja, Eropa, Amerika Selatan, dsb biarpun pengaruh barat sangat kental, tapi gereja-gereja berbasis etnis tetap eksis dan hidup.
Secara kebangsaan 'kenusantaraan' adalah variabel yang menyatukan. Â Tanpa harus menjadi liberal pluralis, sebenarnya teman-teman konservatif masing-masing kepercayaan masih bisa tetap eksklusif pluralis. Â Artinya, kita tetap eksklusif dengan agama masing-masing, tapi cara kita berhubungan dengan agama lain adalah pluralis (baca : nusantara).
Bagaimana kalau konflik terjadi antara nilai-nilai nusantara dan nilai-nilai eksklusifitas agama kita? Â Disinilah letak ujian para pemimpin agama di Indonesia. Â Begitu kita terjebak kepada eksklusifitas kaku, maka terjadilah radikalisme, dan sektarianisme.
Dalam Islam ada rahmatan 'lil alamin. Â Dalam Kristen ada 'Grace for All'. Â Dalam Budha dan Hindu adalah "universal values". Â Kalau kita benar-benar mengerti ini, kita akan semakin mudah mengerti 'agama nusantara'. Â Secara teologis kalau kita mengerti Pancasila sebagai 'agama sipil' Â maka semua perbedaan yang setajam apapun akan gampang di selesaikan. Â Menyatukan iman menjadi satu agama adalah kemustahilan, tapi menyatukan iman dalam sebuah keluarga NKRI adalah keharusan. Â
Â
Pendekar Solo