[caption caption="tempo.co - Jokowi Ahok : Jakarta Baru"][/caption]Sejak Jokowi-Ahok menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur, politik Indonesia tidak sama lagi. Ditunjang dengan booming-nya media sosial, percepatan virus perubahan tidak bisa dihindarkan. Dan tren ini tidak menjadi turun, bahkan menjadi semakin kencang setelah “pindahnya” Jokowi ke Jalan Merdeka (menjadi RI1). Koq bisa?
***
Ketika Jokowi-Ahok menjadi satu paket, kegaduhan hanya memiliki satu sumber. Tapi setelah mereka “berpisah”, ternyata keduanya menjadi dua sumber kegaduhan.
Di level nasional, Jokowi tidak ada habis-habisnya diberitakan. Mulai kasus Budi Gunawan, sampai cuitan SBY yang mencoba cari perhatian, Jokowi tetap menjadi media darling.
Di level DKI, Ahok menjadi sumber kegaduhan yang lain. Mencapai puncaknya karena Pilkada 2017 sehingga yang masih hangat kasus Sanusi, Podomoro, Agung Sedayu yang mencoba menggoyang Ahok. Dahsyat.
***
Kegaduhan-kegaduhan itu muncul karena Jokowi-Ahok MEMBUKA semua permasalahan ke publik. Istilahnya politik panggung. Mereka membuat panggung, dan semua yang bermain dipersilakan ada di atas panggung, dan biarlah rakyat yang akhirnya melihat sendiri kebenarannya.
Dengan pendekatan politik panggung, otomatis transparansi akan terjadi. Jakarta Baru bisa dikatakan pisau bedah birokrasi Indonesia. Rakyat biasa, seperti saya, sekarang bisa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi “di dalam birokrasi”.
Terlihat dan terbukti, untuk menjadi pemimpin birokrasi wali kota, bupati, gubernur, sampai presiden tidak sekadar mengerti manajemen. Tapi harus tapi bermain cantik secara politik, hukum, dan sosial. Plus, harus mengerti hitung-hitungan bisnis. Suatu perpaduan yang tidak sembarang orang bisa. Profesionalisme.
***
Truth will set you free. Kebenaran yang memerdekakan adalah sebuah konsep revolusi mental yang harus terus kita pegang. Menyebar kebohongan karena kebencian pada akhirnya akan terbuka juga. Karena kebenaran pasti menang dan tidak bisa ditutupi.