[caption caption="quotesgram.com"][/caption]Opini atau fakta. Sejak TK-SD, sekolah yang baik akan membimbing anak didik untuk membedakan antara opini dan fakta. Opini bersifat subyektif, fakta bersifat obyektif. Opini yang sudah dapat diverifikasi disebut teori dalam dunia akademis. Teori-teori ini dapat menjadi rujukan untuk membangun sebuah teori yang lain.
Jadi, bisa dibayangkan apabila kita membangun sebuah opini dan menjadikannya sebuah teori, tapi berdasarkan unproven theory (teori tidak terbukti) atau invalid fact (fakta tidak valid), kita hanya akan melahirkan sebuat mitos. Apabila hal ini dilakukan secara sengaja, maka dapat dikatakan kita sedang melakukan pembohongan.
Apabila pembohongan dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis, maka sebenarnya bisa disamakan dengan aksi terorisme. Tujuan akhirnya adalah membuat kebingungan, dan ketakutan masyarakat, sehingga bisa mengambil untung dari keadaan itu.
***
Putri alm. Gus Dur, Yenny Wahid, mengatakan dengan tepat bahwa sebagai berikut:
Senjata kaum radikal & intoleran bukan lagi pistol, tapi media sosial; facebook, twitter, WA
[caption caption="twitter.com/Wahid1nstitute"]
Sebagai contoh lain, kekuatan tulisan Kartinilah yang membuat dia menjadi berbeda dengan tokoh wanita yang lain. Jadi, apabila masih ada yang mempertanyakan mengapa Kartini harus dijadikan pahlawan, mereka adalah orang yang belum mengerti kekuatan sebuah tulisan yang dilandasi sebuah ide.
***
Lahirnya jurnalisme ala haters adalah ekses negatif yang sangat memprihatinkan. Kebenaran dan kebohongan sudah semakin sulit untuk dibedakan.
Bukan lagi sekadar membongkar kesalahan orang, tapi ranah sarkasme dan fitnah dilontarkan dengan tanpa beban sama sekali. Etika dan kredibilitas seakan tidak digubris lagi dengan alibi “ini kan cuma opini”, “ini kan cuma didunia maya”.