Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Money

Membedah Kompasiana: Konten, Aplikasi, atau Teknologi

21 November 2013   14:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:51 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1385018745710310687

Buku Mas Pepih Nugraha, "Kompasiana: Etalase Warga Biasa"  menurut saya layak disebut sebuah standard studi kasus binis online media di Indonesia.  Bagi yang pernah sekolah bisnis pasti mengenal "Harvard case study" yang tersohor, dari case-case study tersebut kita bisa belajar banyak bagaimana seorang pemimpin bisnis mengambil keputusan.  Sukses dan gagal bisa dipelajari untuk kita belajar menyiapkan diri sebagai pemilik bisnis atau profesional. Di Indonesia pernah terjadi booming .com yang pertama ketika astaga.com, satunet.com, dsb mencoba untuk menggoreng net company di Indonesia.  Generasi itu gugur, tapi mampu melahirkan detik.com, kaskus.co.id yang konon harganya sampai 500 Milyar rupiah.   Kasus Yahoo yang menggulung tikarkan Koprol.com setelah dibeli, tentunya bikin kita orang Indonesia agak jengah dan marah juga.  Koprol adalah milik anak bangsa, yang di bunuh sebelum dewasa.  Sayang sekali.   Ada banyak portal-portal lain muncul seperti okezone.com, vivanews.com, merdeka.com (satu grup dengan kapanlagi.com), dll.  Tapi semuanya hanya menjual koran online.  Tidak ada bisnis model yang unik. Kompasiana jelas adalah anak ajaib yang di lahirkan kompas grup.  Bagi saya lebih menarik bahkan dari kompas printing, dan kompas.com.  Jadi cucu bersaing dengan bapak dan kakek.  Dari buku mas Pepih, menurut saya Kompasina pun sebenarnya tidak memiliki bisnis model yang jelas di awalnya.  Alias kata coba-coba dari grup Kompas.  Apa mau di kata, rupanya itu budaya bisnis di Indonesia, trial and error. Untung Kompasiana mencangkokkan diri kepada pohon bisnis yang kuat, kalau tidak, juga pasti wafat.   Setelah sekarang menjadi dewasa, dan Juli 2013 kemarin di lepas Kompas untuk mandiri secara keuangan, tentunya menarik, karena sekarang Kompasiana harus benar-benar cari uang.   Catatan: itu sebabnya wajah Gita Wirjawan ada di mana-mana di kompasiana :)   Akankah Kompasiana bertahan secara keuangan adalah the million dollar question dalam bisnis "free platform" ini. [caption id="attachment_279391" align="aligncenter" width="465" caption="Social Blog Business Model - Hanny Setiawan"][/caption] Mas Pepih yang sudah pindah jadi redaktur pelaksana kompas.com selalu menekankan dalam bukunya "content is  king"   Setelah digantikan mas Iskandar , dua hal langsung di lakukan jendral baru Kompasiana ini.  Satu adalah soal anonim akun yang mengganggu, yang dijawab dengan warna merah yang muncul di akun-akun kompasianer yang belum terverifikasi.  Kedua,  kemarin mas Iskandar  mencoba mempromokan mobile apps yang terbaru di Kompasiana.  Ini menarik di amati, karena mas Iskandar melihat aplikasi perlu diperbaharui.  Dengan tidak keluar dari koridor pengakuannya di twitter, "Kompasiana the only crowd-sourced news & opinions web in Indonesia." Saya mencoba melihat kebenaran content is king dalam arti tunggal.  Artinya seperti ini, apakah media lain tidak bisa menelorkan platform seperti kompasiana dan menjadi pesaing berat kompasiana?  Kalau penekanannya cuma di konten yang keroyokan, ikatan-ikatan apakah yang mampu menahan kompasiner-kompasianer bertahan di Kompasiana selain dengan mengadakan kopdad, kompasianival, blogcontest dsb.   Pada dasarnya yang dilakukan selama ini adalah pengembangan komunitasnya saja.   Good strategy, but is it enough? Apalagi aplikasi, dan teknologi agak lambat mengimbangi. Menurut saya mungkin mas Iskandar juga sudah ada feeling kesana, bahwa tidak cukup!  Konten yang banyak, dan menarik tanpa aplikasi yang pas tidak akan jalan.  Dan ingat aplikas atau apps atau program itu tergantung dengan teknologi terbaru.  Jadi menurut saya, bisnis model yang terbaik adalah Konten-Aplikasi-Teknlogi.  Trinitas inilah yang akan mampu melanggengkan Kompasiana yang mandiri tanpa perlu suntikan kompas.com. Kegagalan friendster dengan komunitasnya yang besar adalah kegagalan aplikasi, bukan kegagalan mengembangkan komunitas.  Google dengan teknologi yang terbaru mampu menjadi raja mengalahkan Yahoo dan tentunya membunuh lycos, infoseek, dan sebangsanya.  Google mulai merambah sampai ke kota-kota mengembangkan komunitas konten, tapi tetap mengembang aplikasi-aplikasi seperti Google Play, dan state of the art technology seperti Android.  Amazing. Tim manajemen Kompasiana semoga memiliki visi yang lebih jauh dari sekedar jadi pemain besar di lokal Indonesia, tapi bagaimana membawa Kompasiana ke next level menjadi facebook-nya dunia.  Investasi di Aplikasi dan Teknologi seharusnya mulai dilakukan Kompas group di cucu ajaib ini.  Konsekuensi gagal teknologi dan aplikasi adalah bergantungnya Kompasiana kepada induk cukup lama.  Selama tidak ada kompetitor seimbang, baik-baik saja.  Tapi apakah mungkin tanpa kompetitor? "Business model analysis"  yang saya lakukan ini tentunya bukan mencoba menggurui raksasa Kompas group, mas pepih, ataupun mas Iskandar.  Tapi dari hasil analisa obyektif saya yang berkecimpung di industri kreatif, dan satu kerinduan subyektif bahwa aplikasi dalam negeri yang menjadi pemimpin dunia. Kalau pada akhirnya, pemikiran saya ini diterima dan berhasil diterapkan.  Saya pun ikut bangga sebagai kompasianer. Pendekar Solo

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun