jpnn.com
UU MD3 yang disahkan 1 hari sebelum pemilu 9 Juli 2014 adalah awal dari semua kisruh di DPR. Â UU MD3 yang "legally correct" tapi secara substansi dipertanyakan keadilannya menjadi catatan sejarah menarik yang bukan saja menjadi pembelajaran politik, tapi juga pembelajaran hukum. Alm Gus Dur suatu kali pernah menyeletuk KUHP yang di buat Belanda memiliki kemiripan dengan hukum yang di Belanda, dan di Belanda jalan dengan baik tapi di Indonesia terseok-seok. Â Menurut Gus Dur hal itu karena orang yang menjalankannya, bukan hanya karena legalitas hukumnya. Â Sebuah pemikiran yang menarik. Kebenaran dan keadilan adalah dua hal yang harusnya bersandingan secara sejajar. Â Hukum diadakan dalam masyarakat supaya kebenaran dan keadilan bisa terjadi. Â Tapi nyatanya hukum bisa dipakai untuk alat kekuasaan bahkan kejahatan. Kebenaran tanpa keadilan akan membawa kepada legalisme. Â Keadilan tanpa kebenaran akan membawa kepada anarkis. Â Kebenaran lebih kearah "what is", keadilan lebih kearah "what should be".
Mengapa Hamdan Zoelva Membela UU MD3?
Hamdan Zoelva ketua MK yang menjadi sorotan banyak orang karena berada di posisi strategis dalam pertarungan politik Jokowi vs Prabowo ternyata adalah seorang yang ahli dalam "Pemakzulan Presiden di Indonesia". Mengapa? Karena Hamdan meriset khusus dalam thesis S3-nya soal pemakzulan presiden di Indonesia (baca). Pilihan topik yang menarik dari pengganti Akil Mochtar yang juga mantan wakil DPR RI dari Partai Bulan Bintangnya Yusril Ihza Mahendra.
Kesamaan pendekatan legalisme Hamdan dan Yusril yang piawa dalam menggunakan hukum-hukum yang normatif terasa kental khususnya dalam kasus UUMD3. Â Hamdan mengatakan bahwa tidak ada UUD yang dilanggar dengan UU MD3. Â Artinya secara LEGAL, mahkamah konstitusi tidak bisa membatalkan UU MD3 karena alasan melanggar UUD (rujukan). Â Hamdan dalam kicauanya di twitter lebih jauh mengatakan sbb:
Apa pun UUnya kalau kelompok mayoritas tak mau berbagi tetap saja mayoritas menguasai semuanya — Hamdan Zoelva (@hamdanzoelva) October 31, 2014
Urusan rumah tangga DPR tidak bisa terlalu jauh dicampuri terlalu jauh lembaga lain, kecuali ada yg benar2 bertentangan dgn uud — Hamdan Zoelva (@hamdanzoelva) October 31, 2014
Terlihat Hamdan tidak mau disalahkan atau dihubungkan dengan kekisruhan di DPR. Suatu pandangan yang naif  dari hakim tertinggi dari lembaga konstitusi yang tertinggi.  Hamdan bukan orang bodoh demikian juga seluruh jajaran hakim MK.  Rakyat jelata saja tahu bahwa UU MD3 sangat bersifat politis dan jauh dari kepentingan rakyat. Kehendak rakyat sudah jelas PDI-P, Golkar, Gerindra pemenang pemilu legislatif 2014 (baca).  Mereka seharusnya menjadi pemimpin-pemimpin DPR maupun MPR.  Dan secara proporsional sesuai mandat rakyat harusnya partai-partai yang lain diberi tugas dan wewenang.  Mengapa Hamdan seakan menutup mata? Hamdan Zoelva, Lihatlah Dengan Hati! Penegakan hukum (law enforcement) yang baik adalah apabila mempertimbangkan kebenaran dan keadilan. Demikian juga hukum yang dibuat harus dilihat dari sudut kebenaran dan keadilan.  UU MD3 secara jelas dan sah adalah UU yang bermasalah karena tidak mengindahkan aspek keadilan. Sebagai hakim tertinggi, Hamdan memiliki hak untuk menggunakan professional judgementnya dari sisi keadilan.  Hanya bermain di sisi legal membuat celetukan Gus Dur benar adanya. Hanya Tuhan yang benar-benar bisa adil.  Hakim manusia tidak sempurna, demikian juga Hamdan Zoelva sang hakim yang konon populer di kalangan ibu-ibu karena wajahnya.  Tapi bagi saya, sepopuler apapun Hamdan, dan alasan apapun dia mengelak.  Sejarah sudah mencatat.  Logika berfikir dia (dan jajaran hakim MK yang lain) telah ikut andil sumbangsih kekisruhan di DPR. Perkembangan Jokowi vs Prabowo sudah memasuki tahap baru.  "Perang dingin" jelas masih ada.  Perppu RUU Pilkada tak Langsung masih menjadi bayang-bayang yang tak menyenangkan bagi rakyat.  Hamdan cs masih punya PR-PR besar bangsa.  Untuk itu, Hamdan Zoelva bisa memulai dengan merubah logika berfikirnya.  Jangan sekedar melihat hukum tertulis yang mati.  Lihatlah dengan HATI dan masukkan variabel keadilan di setiap keputusan.  Hukum tertulis mematikan, tapi pelaku hukum itulah yang menghidupkan. Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H