[caption id="" align="alignnone" width="599" caption="Tribun Pakanbaru"][/caption] Jonru penulis notorious mencoba mengubah personal branding dari pengkritik Jokowi menjadi aktifis sebuah teori motivasi. Â Tidak ada uangnya, argumen dari penulis yang mengaku juara kelas dari SD sampai SMA tersebut. Namanya orang cari makan, biarlah dia mau cari sensasi apa lagi, terserah dia. Â Yang jelas, jejak digital tidak bisa dihapus demikian saja, artikel-artikel sampahnya sudah memenuhi media-media sampah dan diviralkan oleh buzzer-buzzer sampah juga. Mencoba mengamati pergerakan penulis bayaran, dan para panasbung, saya melihat bahwa bukan hanya artikel-artikel tapi media-media yang tidak jelas bermunculan. Â Diluar media-media berbau agama yang jelas-jelas menyebarkan kebencian dan menyerempet fitnah, modus operandi dengan membuat portal-portal berita yang "semi resmi". Â Berikut adalah daftar kecil portal yang menurut saya bisa dikategorikan ga jelas, bahkan mungkin bisa dikategorikan sampah.
http://www.intriknews.com/ , http://www.intelijen.co.id/, http://www.rmol.co/ http://www.suaranews.com/, http://www.trendingcenter.com/, http://rimanews.com/
Sampah disini saya definisikan tidak ada niat baik untuk mengabarkan kabar baik. Â Jadi fokus pemberitaan hanya dikabar-kabar buruk. Â Sedihnya, bukan hanya media-media ga jelas itu. Â Media-media mainstream terutama yang online pun semakin menyampah demi klik yang banyak.
**** Belum selesai sampai disitu, artikel dan media sampah ternyata mulai di ikuti "mahasiswa-mahasiswa sampah" yang menurut saya ga jelas demo-demonya. Â Saya pribadi memang tidak menyukai demo sebagai jalan menyuarakan ide di dunia akademis. Â Kecuali sudah sampai titik seperti kebusukan ORBA, maka demo adalah cara yang "terpaksa" dipakai. Mahasiswa adalah orang-orang intelektual yang seharusnya memakai jalur intelektual dalam memprotes atau mendukung Jokowi. Â Minimal sekarang ada sosial media, mana tulisan para pendemo yang sampai mendoakan pocongan Jokowi, misalnya? Fenomena artikel, media, dan sekarang mahasiswa sampah ini menurut saya tidak berdiri sendiri-sendiri. Â Nuansa konspiratif terasa sekali. Â Tidak membutuhkan seorang jenius untuk merasakan gerakan-gerakan inkonstitusional yang ditiupkan dengan mendompleng atribut-atribut agama, dan isu-isu poleksobud. Lalu bagaimana? Â Lawan! Â Itu kalimat Wiji Tukul yang seharusnya menjadi semangat kita bersama. Â Bangsa ini sedang membangun Indonesia Baru, status quo-sara-konspirasi tidak ada tempat lagi di bumi pertiwi. Â Jangan pernah lengah, mereka ini sudah buta dan tuli. Punya mata tapi tidak bisa melihat, punya telinga tapi tidak bisa mendengar. Siapa yang punya telinga biarlah mendengar panggilan bunda pertiwi untuk membela Indonesia Baru. Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H