Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Imlek 2016 Membuat Kota Solo "Move on" dari Stigma Anti-Cina

8 Februari 2016   10:57 Diperbarui: 8 Februari 2016   16:38 3392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Spektakuler! Itulah kata yang tepat untuk melukiskan perayaan malam Imlek 2567 di Kota Solo. Karena tidak ada benchmark yang bisa ditandingkan, bisa dikatakan kemungkinan Imlek Solo tahun ini adalah salah satu yang terbaik di Indonesia. Terbaik bukan saja karena acaranya, tapi bagi Kota Solo Imlek kali ini terasa sebagai sebuah terobosan sosial.

Kota Solo yang sarat dengan luka-luka masa lalu yang rasis, malam ini terasa spiritual sekali. Tembok-tembok SARA yang coba diembuskan melalui "Geger Cina" di tahun 80-an, yang berlanjut hancurnya Kota Solo di tahun 1998, sampai meledaknya bom bunuh diri di GBIS Kepunton 2011 tatkala Jokowi menuju Jakarta Bar semua luluh dengan turunnya ribuan masyarakat Solo ke jalan.

Lebih indahnya lagi, mayoritas yang menikmati pesta Imlek ini bukan orang Tionghoa Solo sendiri. Semua yang merasa orang Solo "tumplek blek" (kumpul semua) di pusat Kota Solo, Pasar Gede, titik nol Kota Solo yang dipercaya bagian dari pecinan dan memiliki kelenteng Pasar Gede yang menjadi sejarah kota asal banyak pergerakan ini.

***

Spirit "anti-Cina" di Kota Solo bukan isapan jempol. Sebagai "Cina Solo" asli yang hidup, dan dewasa di kota ini, saya mengalami di-bully dan tensinya hidup sebagai mata sipit. Kalau ditelusur sejarah, lahirnya Kota Solo ditandai dengan dibantainya 10.000 orang keturunan Cina oleh VOC yang disebut "Geger Pecinan".

Uniknya di peristiwa Geger Pecinan itu, Tionghoa (baca: orang Cina) bekerja sama dengan pribumi (baca: orang Jawa) untuk bersatu melawan VOC. Sebuah sejarah yang kemudian dibelokkan Orba dengan mengadu domba antar dua ras yang sama-sama WNI. Itulah kejahatan Orba yang sampai hari ini masih terasa.

***

Sumartono Hadinoto, ketua panita Imlek 2567/2016 yang dijuluki "Bapak Relawan Solo" dan aktivis PMS (Perkumpulan Masyarakat Solo) patut mendapatkan apresiasi dalam perjuangannya menyatukan dikotomi Cina-Jawa kota Solo. Dengan berbagai acara-acara yang menarik dan ditutup dengan kembang api yang sangat spektakuler lengkap sudah rangkaian acara Imlek tahun ini. Secara detail Sumartono mengatakan, “Sebelum pesta kembang api selama 30 menit, pengunjung akan dihibur dengan pertunjukan seni budaya dan pentas liong dan barongsai dari Tripusaka, Dalmas, dan Macan Putih,” (sumber)

Kebangkitan kebhinekaan ini tidak lepas dari peran Gus Dur yang membuka jalan bagi Imlek untuk hadir di Indonesia, dan khusus Kota Solo adalah peran Jokowi yang membangun hubungan dengan semua komunitas yang ada selama menjadi walikota. Bahkan kemenangan penerus Jokowi, Rudi penganut Katholik saleh tanpa diwarnai kericuhan, membuat Kota Solo semakin layak disebut kota bhinneka.

Dan perlu dicatat, Kota Solo mungkin adalah kota yang paling banyak memiliki komunitas. Komunitas-komunitas yang membentuk sebuah kerangka (framework) sosial yang patut menjadi contoh bagi kota-kota lain, bahkan untuk Indonesia. Gong Xi Fat Choi 2567 bagi yang merayakan.

Tugu dan Jam Besar Pasar Gede, Pusat Kota Solo
Lautan manusia dilihat dari Balaikota Solo ke arah Pasar Gede
"Tumpek blek" Cina-Jawa, Kristen-Islam, semua komuntias. Kota Bhinneka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun