Masih dalam konteks isu 6 x 4 atau 4 x 6, Yohanes Surya dengan gambang menjelaskan bahwa tergantung "kesepakatan" atau dalam bahasa lain "konteks"-nya apa  (ref).  Jadi kebenaran 6x 4 atau 4 x6 ternyata bergantung dari cerita atau narasi yang melatarbelakangi.
Bu Guru dan sang kakak memiliki narasi dan cerita yang berbeda sehingga akhirnya benar atau salah itu menjadi berbeda (sumber). Â Cerita atau narasi inilah yang dalam filosofi disebutkan sebagai worldview atau cara pandang dunia. Â Worldview yang berbeda akan menghasilkan kebenaran yang berbeda. Â Disinilah letak conflict of value yang sering terjadi di masyarakat.
Belajar dari sini, pro dan kontra masalah "sepele" ini bisa memperlihat filosofi jawa sederhana "bener lan pener". Â Artinya, kebenaran bisa menjadi salah kalau tidak tepat (pener). Â Untuk menjadi bener lan pener kita harus memiliki cerita atau narasi yang sama. Â Dalam kata lain, dalam konteks kebangsaan, kita harus punya KESEPAKATAN yang sama supaya bisa mengartikan sebuah prinsip/rumus yang sama.
Latar belakang berfikir seperti inilah yang membuat "cerita FPI" menjadi sumbang bagi NKRI tapi tidak sumbang bagi pengikutnya. Â FPI tidak menerima Ahok karena kafir menurut mereka. Â Tidak perduli kompetensi atau Akhlak Ahok, karena kafir harus ditolak. Â Solusinya, menurut Habieb FPI, Ahok harus jadi Islam dulu baru diterima.
Yang Habieb Rizieg  dan komplotan FPI ini lupakan adalah KESEPAKATAN-nya bukan sepert itu.  Kesepakatan Indonesia adalah NKRI yang Berbhineka Tunggal Ika dan tidak membedakan agama.  Memaksakan cerita atau narasi yang lain dalam NKRI dalam bahasa politik disebut MAKAR alias Pemberontak atau pengkhianat bangsa.
Jadi ada kemungkinan waktu SD Habieb dan komplotannya salah mengerjakan PR matematikanya sehingga berperilaku selalu berbeda dari masyarakat Indonesia yang lain.
Matematika adalah simbol-simbol abstraksi dari filosofi kehidupan. Â Hanya mampu mengerjakan PR matematika dan menghafalkan rumus tidak akan membuat generasi kita bernalar dengan baik. Â Setiap anak harus mampu mengartikan matematika (dan ilmu-ilmu yang lain) dalam konteks besar mencari kebenaran dan arti kehidupan. Itulah pendidikan yang hakiki. Â Belajar untuk hidup, dan hidup untuk belajar.
Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H