LBH atau Lembaga Bantuan Hukum adalah sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu warga negera yang mengalami ketidakadilan hukum melalui jalur hukum. Perhatikan frasa, "melalui jalur hukum". Â Ini pemahaman yang saya mengerti selama ini. Dan peran LBH-LBH akan terasa sekali bagi kita yang tidak mengerti hukum. Apa itu PN, PT, MA, peninjauan kembali, pidana, perdata, yurisprudensi, dsb.
Jadi, "saya pikir" LBH semacam "pengacara sosial" bagi yang tidak bisa membayar pengacara seperti Hotman Paris. Sebab itu, bagi saya LBH adalah aktivitas mulia di alam demokrasi. Â
Tapi melalui kasus Omnibus Law tiba-tiba saya mengerti bahwa saya salah. Ternyata LBH adalah semacam SJW (Social Justice Warriors) sebagai aktivis HAM yang tidak begitu concern dengan prosedur hukum tapi lebih ke arah "yang penting aku didengar", tidak ada bedanya dengan ormas, dan organisasi buru lainnya. Jadi, saya kecelik (jawa) dengan kata-kata bantuan hukum.
Perubahan pandangan setelah saya menjumpai dalam beberapa kesempatan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) bersliweran di sosmed mengkritik Omnibus Law, bahkan dihadirkan Mata Najwa (lagi-lagi lingkarannya di sini, baca: Terawan Dilecehkan, Mempertanyakan "Narasi" Najwa). Melalui youtube IndoProgress, Asfinawati, ketua umum YLBHI, dengan  tegas mengatakan, "tidak perlu ke Judicial Review", dan dengan keras mengatakan bahwa melalui pengadilan itu perjalanan panjang, dan endorse demo jalanan sebagai alat lebih baik. Perhatikan video berikut:
Terperanjat! Bagaimana sebuah lembaga terhormat yang didirikan alm. Adnan Buyung Nastion, seorang pengacara hebat di masanya, bisa jatuh mutunya sampai menjadi sekelas SJW?Â
Seni tertinggi dalam demokrasi adalah negosiasi, kompromi, musyawarah dalam koridor politik hukum, bukan dengan jalur kekerasan atau demo. Apabila itu ormas, preman, buruh, mahasiswa, atau pencinta lingkungan masih bisa cukup dimaklumi, tapi apabila sebuah lembaga hukum tidak percaya prosedur hukum lagi, maka pertanyaan pertama saya, apa yang sedang dimainkan?
Apabila ditelusur maka pendukung narasi Mata Najwa ada di lingkaran aktivis sosial seperti juga mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar.
Demokrasi memang mengijinkan perbedaan pendapat, kritis, bahkan membuka pintu demo jalanan. Tapi demokrasi juga memiliki mekanisme hukum yang menjaga ketertiban.Â
Secara filosofisnya, form & freedom adalah dua hal yang berjalan bersamaan. Law & Human Right harus berjalan bersama. Sebab itu dibutuhkan lembaga yang bergerak di Hukum, dan berjuang melalui jalur hukum, dan silakan bagi aktivis Ham bergerak secara sosial sesuai dengan apa yang diperjuangkan. Tanpa Law Enforcement (penegakan hukum), akan terjadi chaos, dan demokrasi anarkis yang terjadi.
OmibusLaw  semakin memperlihatkan bahwa radical left dan radical right sedang berselingkuh dan menjadi "transgender politik".  Sebab itu tidak aneh didemo yang sama Jokowi dikatakan kapitalis sekaligus komunis, plonga-plongo tapi otoriter. Oposisi sedang bingung identitas. Atau mungkin "yang penting didengar" supaya funding tetap jalan? #Markibong kata Denny Siregar.
#MengawalIndonesiaBaru
Pendekar Solo