Sejak menyempal dari Metro TV, Najwa Shihab menggagas Narasi TV bersama dua sempalan yang lain yaitu Catharina Davy dan Dahlia Citra. Dahila Citra Buana lulusan UGM Fisipol adalah executive produser Mata Najwa. Chatarina Davy adalah jurnalis kawakan dari RCTI, yang pindah ke Metro TV, dan akhirnya berlabuh di Narasi TV. Â
Secara bisnis, Narasi TV adalah leverage fan base dari Mata Najwa yang berhasil "memboikot" Metro TV. Â Bukan hanya mampu menyedot fan base Metro TV, trio ini mampu menggaet Trans7 untuk memperkuat positioning. Bahkan tampaknya Narasi TV sudah dapat suntikan dana dari Intiland (Intiland Group), Goventures (Gojek Grup), dan GDPVentures (Jarum Grup) (sumber: narasi.tv). Funder-funder startup "balung gajah" yang membuat Narasi TV semakin terasa kehadirannya. Â Â
Dari sini, bisa terlihat betapa ketiga founder Narasi TV ini adalah wanita-wanita bisnis yang bisa menggunakan kesempatan dengan baik. Terlepas suka atau tidak suka, mereka membuktikan bahwa motivasi bisnis yang terutama yang mendorong Narasi TV ini. Tapi apakah cuma bisnis semata, apakah tidak ada muatan kepentingan yang lain?
Bukan Hanya Kursi Kosong, Terawan Disebut Anjing?
Flashback sebentar, sebelum riuhnya "Pelecehan" terhadap Menkes Kesehatan Terawan di Mata Najwa, ada peristiwa yang memalukan lainnya yang berhubungan antra Narasi TV dan Menkes Terawan. Meskipun dikatakan cuma "oknum", tapi realitasnya adalah wartawan Narasi Aqwam Fiazmi Hanifan membuat cuitan twitter yang sangat memalukan, berikut pemberitaan Detik.com (6/8/2020):
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melayangkan surat peringatan ke pemilik akun bernama Aqwam Fiazmi Hanifan (@aqfiazfan) karena cuitan di Twitter. Aqwam merupakan wartawan Narasi.
Cuitan Aqwam yang dipersoalkan oleh Kemenkes adalah retweet cuitan Al Jazeera English yang membahas anjing German Sniffer. Dalam retweet-nya, Aqwam menuliskan kalimat:Â 'Anjing ini lebih berguna ketimbang Menteri Kesehatan kita'.
Terkejut membaca artikel ini. Saya sampai membaca 3 kali untuk memastikan tidak salah baca. Tidak salah, kementerian kesehatan sampai mensomasi  Akun @aqfiazfan. Akun ini, ketika saya cek per 6/10/2020, 9:15 menyatakan diri sebagai produser @narasinewsroom yang bagian dari narasi TV. Â
Jadi, meskipun direktur konten NarasiTV Z Rachmat Sugito memberikan klarifikasi soal twit itu, realitasnya adalah sampai hari ini, Aqwam melenggang dari case ini. Bahkan Kemenkes yang mundur, karena menghindari kegaduhan yang coba dieskalasi oleh koalisi sosial yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantauan Penanganan COVID-19 (sumber: Pernyataan Pemred Narasi soal Cuitan Jurnalis yang Disomasi Kemenkes)
Opini ini bukan jurnal akademis yang memaksa saya riset data lebih untuk menghubungkan ANJING dan KURSI KOSONG. Tapi cukup bagi seorang awam untuk membuka pertanyaan ke masyarakat, siapa orang-orang ini sebenarnya? Mengapa begitu ngotot menyerang seorang Terawan, yang dalam senyumnya selalu dikenal memiliki filosofi "Hidup Ini Adalah Kesempatan, Hidup Ini Harus Jadi Berkat"?
Antara Anyer dan Jakarta adalah lagu yang merdu, antara Anjing dan Kursi Kosong adalah lagu yang sumbang dari Narasi TV, yang dimotori orang-orang media, bisnis, dan sosial politik. Gabungan tiga kekuatan yang luar biasa jaringan media, bisnis, dan sosial politik. Â
Dari Mata Menjadi Mulut, Mencoba Mengerti.
Saya pribadi sempat bertemu Najwa Shihab di rumah Galuh, tempat kumpul pengajar muda di gerakan Indonesia Mengajar. Â Saya yakin dia tidak ingat saya, karena cuma 5 menit pertemuan. Saya cuma dikasih tahu, itu mbak Najwa. Saya sendiri tidak tahu siapa Najwa Shihab, bukan karena dia tidak terkenal tapi karena saya yang tidak tertarik mengikuti sebenarnya. Tapi jadi mengikuti karena gencarnya Mata Najwa program waktu itu dengan Jokowi, Ahok, Abraham Samad, dan tentunya Anies Baswedan yang entah sudah berapa kali tampi di Mata Najwa.
Berjalan dengan waktu Abraham Samad sudah gugur, Ahok sudah jatuh, yang sisa di "dalam" adalah Jokowi dan Anies. Dan Terawan adalah Jokowi. Menyerang Terawan adalah menyerang Jokowi. Data-data sederhana ini membuat saya berfikir, apakah Mata Najwa akhirnya sudah menjadi Mulut Najwa. Artinya, program ini sudah ada kepentingan-kepentingan politis praktis dari vested investor, atau para pelaku di dalamnya?
Jejak digital saya "mendukung" Mata Najwa dan ke-4 orang politikus ada di mana-mana. Sebab itu, saya memiliki tanggung jawab moral menjaga. Ketika Anies semakin tidak jelas arah ideologi dan politiknya, saya pun mempertanyakan. Mau ke mana sebenarnya Mas? Dan sekarang tiba-tiba Najwa lebih menggunakan mulutnya daripada matanya, membuat saya terusik untuk menulis kembali soal ini.  Apalagi melihat Opung Luhut yang naik darah, saya semakin yakin, ada yang lebih dari sekedar bisnis. Mau ke mana sebenarnya Mbak?