Pada dasarnya Anies mengatakan bahwa sebagai Muslim dia taat Al-Maida 51. Jawaban yang secara konteks pertanyaan berarti Anies menyetujui pemimpin DKI harus muslim, tapi sekaligus dia mau nyatakan bahwa dia tetap nasionalis dalam konteks kenegaraan. Lihai dan jawaban yang brilian.
Masalahnya, sebagal relawan kebhinekaan yang berjuang untuk kebhinekaan yang sejati, sejak awal Anies selalu secara LUGAS mengatakan bahwa tidak ada dikotomi mayoritas-minoritas. Dan selalu dalam frame bahwa siapapun pemimpinnya, apapun agama, suku, dan rasnya tidak menjadi masalah.
Jadi ketika sekarang Anies tidak bisa menjawab dengan lugas bahwa pemimpin DKI tidak harus muslim, maka tidak bisa disalahkan apabila Anies dipertanyakan kebhinekaannya. Dan “tuduhan” merobek Tenun Kebangsaan itu muncul. Perlu diketahui, bukan hanya relawan pro Ahok yang menyatakan itu.
Tapi media-media luar negeri pun menganggap ada perubahan politik Anies, menjadi politik agama. Saya kutip satu dari Time, karena disana ada perkataan dari Suratno dosen dan pemimpin Think-Thinak universitas Paramadina (tempat Anies pernah menjadi rektor), dan tokoh NU yang cukup memerahkan telinga.
“I had hoped that Anies would influence Islamists ... to be more ‘moderate,” says Suratno. “He is a disappointment.”
(Sumber)
***
Orang Islam harus memilih orang Islam. Itu tidak melanggar konstitusi. Kalau itu memang iman dan kepercayaan Anies, maka tidak ada yang bisa, bahkan tidak boleh melarang. Tapi kalau dulunya mengatakan tidak apa-apa sekarang tidak boleh, itu namanya bohong. Disini letak kekecewaan, dan pertanyaan utama para relawan kebhinekaan. Apakah Anies masih Anies yang sama?
Dengan gerbong PKS, FPI, HTI, dan garis keras lainnya, tidak bisa tidak kita jadi “ngeri” dengan posisi Anies sekarang. Bukan asal tuduh, apalagi fitnah. Tapi semua karena manuver Anies sendiri. TIdak ada masalah pribadi dengan Anies, semua cuma mempertanyakan, "Ada apakah?"
Rombongan relawan seperti Tsamara, Edward Suhadi, dan Rian Ernesto mungkin lebih vulgar menyatakan isi hatinya di sosmed. Saya sendiri susah, karena seharusnya misi kita sama, dan banyak teman-teman saya yang sekarang sedang berjuang mempertahankan biduk kerelawanan bhinneka yang goyang gara-gara manuver-manuver SARA ini.
Apakah cuma gara-gara posisi gubernur DKI, harus bermusuhan dengan seorang teman, dan seorang yang memang sejak awal di-grooming untuk menjadi seorang pemimpin? Harga yang terlalu mahal untuk itu sebenarnya.