Jokowi, Ahok, dan Anies adalah tiga pribadi yang sejak beberapa tahun terakhir saya amati, dan “kawal” karena saya merasa ketiga pribadi ini penting untuk Indonesia Baru. Jejak-jejak digital tulisan dan pemikiran saya tentang ketiga pemimpin baru ini bisa dicari dengan gampang di internet. Intinya, saya berharap ketiganya bisa memberikan kebaruan bagi Indonesia.
Dan puji Tuhan, Jokowi jadi presiden, Ahok jadi gubernur DKI, dan Anies jadi menteri pendidikan. Hati ini gembira, dan sangat excited dengan munculnya ketiga jagoan saya ini. Tapi memang dunia tidak ada yang langgeng, tiba-tiba Jokowi memberhentikan Anies, dan menggantikan dengan Muhadjir Effendy. Saya tidak banyak menulis soal ini, tapi saya sangat senang dengan respon Anies yang baik ketika dicukupkan Jokowi.
Ketika mendengar dari berita akhirnya Anies menerima pinangan Sandiaga Uno dan Prabowo, saya pun tetap happy-happy saja karena semua “sesuai skenario”. Orang baik melawan orang baik, jadi tinggal adu program, ide, dan gagasan. Ahok yang menang puji Tuhan, Anies yang menang ya ok-oc. Nothing to lose dari sudut penggerak misi kebhinekaan dan mimpi Indonesia Baru.
***
Perasaan gembira, happy, senang, dan excited menantikan duel gagasan antara Ahok vs Anies tiba-tiba terbang dibawa angin SARA. Bau busuk yang menyengat memasuki pesta yang dinantikan. Setelah Buni Yani mengunggah video yang bermasalah, kemudian mulai ramai di sosmed tentang penistaan agama, tiba-tiba Anies membuat status FB yang intinya ikut menekan proses hukum Ahok. Disana hati nurani saya mulai terusik. Is this Anies who I know?
Kemudian terus berlanjut, Anies mulai lebih sering tausiyah, dan memakai simbol-simbol agama. Bahkan menyanyi lagu-lagu agamawi. Which is, ga ada yang salah dengan itu semua. Cuma bagi kita yang mengikuti, bergaul, dan ikut berjuang bersama untuk Tenun Kebangsaan, mulai resah dan tidak nyaman.
Kulminasinya ketika Anies ke Petamburan dan sowan ke Rizieg Shihab, bos FPI. Sosmed pun riuh dan mulai menyerang Anies. Sampai disinipun, secara prinsip saya merasa tidak ada yang salah juga, wong namanya kampanye mau cari suara, meskipun itu menyerempet-nyerempet tapi masih bisa dijustifikasi dengan kata silaturahmi, menjadi jembatan, pemersatu, dan maju bersama.
Tapi mendengar isi pidatonya yang menyebut Rizieg, Imam besar kita semua, shock juga saya. Kalau soal meluruskan Syiah, Sunni, liberal, dll karena saya ga ngerti, ya sudah biar aja. Tapi Rizieg imam besarnya Anies? Apakah ini benar, atau cuma basa-basi karena di kantor FPI? Kalau basa-basi kan jadinya lucu juga. Jadi entahlah, teruskan pesta gagasannya.
***
Ledakannya bukan kunjungan ke FPI, isi pidatonya, pecinya, tausiyahnya, tapi justru di Mata Najwa show Anies tersudut dan harus menyatakan dengan lugas pertanyaan yang menjadi inti kebhinekaan. “Apakah menurut mas Anies pemimpin DKI harus muslim” (parafrase pertanyaan Najwa Shihab).
Jawaban Anies yang jagoan dalam retorika adalah jawaban politis. Artinya “kata-kata bersayap”. Politisi tidak pernah menjawab dengan lugas kalau dilihat tidak menguntungkan dia. Tapi dia akan menjawaba dengan kata-kata bersayap yang bisa diartikan dari kiri, atau kanan.