Dalam 2-3 hari ini siapa-siapa yang akan dicalonkan menjadi Cagub-Cawagub Pilkada Jakarta 2017 akan mendapatkan kepastian. Meskipun kepastian siapa-siapa lawan Ahok sebagai petahana menarik untuk dinantikan, kepastian keputusan PDI-P untuk mengusung Ahok atau tidak menjadi berita paling penting yang dinantikan.
Sebagai partai pemenang pemilu 2014, dan juga pendukung utama Jokowi, keputusan PDI-P soal Ahok tidak hanya akan mempengaruhi Pilkada Jakarta 2017 tetapi juga akan memperlihatkan arah politik bangsa.
Jokowi, sebagai variabel politik terpenting Indonesia sekarang ini, melalui reshuffle II telah mengambil jalan politiknya. Jokowi tidak lagi jaim dan memposisikan diri sebagai negarawan yang peduli rakyat kecil, tapi Jokowi sudah PD (percaya diri) memperlihatkan diri sebagai politikus sejati.
Indikasi paling jelas adalah dirangkulnya Setyo Novanto dan Golkar, dan juga menyeimbangkan kekuatan NU dan Muhammadiah melalui Muhadjir Effendy. Sebagai politikus, Jokowi dengan ke-“kopiq”-annya memasang posisi "moto picek kuping budeg" (baca : cuek saja) terhadap semua suara yang mengatakan “jangan pak, nanti mereka minta saham”.
Dengan posisi ini, sekarang PDI-P tidak lagi dalam posisi “memiliki Jokowi”, tapi lebih tepat PDI-P dan Jokowi mulai secara terbuka bermain bola. Artinya, sekarang ini mana yang lebih menguntungkan itu yang akan dipilih. It’s just a politic.
Dinamika politik PDI-P dan Jokowi inilah yang memposisikan Ahok kepada posisi tawar politik yang tinggi. Bukan sekedar prestasi, kepopuleran, dan/atau elektabilitas, mendukung Ahok atau tidak pada juga harus melihat posisi Jokowi dengan Ahok.
Apabila Jokowi mendukung Ahok, dan PDI-P tidak maka ikatan antara Jokowi dan PDI-P akan semakin merenggang. Tapi apabila Jokowi mendukung Ahok, dan PDI-P juga mendukung Ahok, maka Jokowi boleh dikatakan semakin memiliki kekuatan politik yang sangat besar. Karena Jokowi dapat partai politik, sekaligus hati rakyat.
Indikasi Jokowi mendukung Ahok lebih besar daripada sebaliknya. Ahok adalah etalase keberhasilan Jokowi di Jakarta. Dan ini adalah modal besar Jokowi untuk kembali memerintah di 2019. Secara makro, tidak semua kebijakan-kebijakan nasional Jokowi berhasil. Artinya, banyak celah politik di level nasional. Tapi apabila Jakarta terbukti berhasil di tangan Ahok, sudah pasti Jokowi akan semakin kuat kepopuleran dan elektabiltasnya.
Posisi politik inilah yang menjadi keberuntungan Ahok. Jadi lagi-lagi Ahok memang mendapat pertolongan “tangan Tuhan”. Pertarungan politik Jokowi-PDI-P ternyata berimbas Ahok mendapat “booster”. Jokowi-Ahok-PDI-P plus Golkar, Nasdem, Hanura, dan ditambah relawan Jokowi plus teman Ahok adalah kombinasi yang sangat sulit dikalahkan di 2017, maupun 2019.
Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H