Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pahitnya Menjadi Korban Kriminalisasi

30 November 2013   19:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:29 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata "kriminalisasi" menjadi marak karena kasus dr. Ayu.  Seorang teman dekat yang juga dokter kandungan di Surabaya ikut berdemo.   Seorang teman advokat dan juga kompasianer menulis juga dengan keras dan lantang soal "tolak kriminalisasi" .   Di lain pihak, yang tidak simpatik dengan para dokter ini juga tidak sedikit, dan menuduh lebay atau pun tidak tulus dalam memilih profesi dokter.  Belum selesai itu, kasus Century mencuat lagi dengan bau ya sama "kriminalisasi kebijakan ekonomi".   Semua hal ini, menyentuh hati saya yang terdalam.  Mengapa? Karena 5 tahun yang lalu saya merasakan pahitnya menjadi korban kata itu, kriminalisasi! Terlepas dari dr Ayu ataupun Century, saya mencoba menuliskan sedikit tentang bagaimana rasanya menjadi korban kriminalisasi ini, dan yang terpenting bagaimana kita lepas dari "sakit hati" yang begitu dalam akibat kriminalisasi.

#Apakah Kriminalisasi Itu Sebenarnya?

Dalam bahasa saya, kriminalisasi adalah suatu tindakan mempidanakan seseorang/badan dengan merekayasa cerita sesungguhnya dari sebuah tindakan hukum.  Ini bukan definisi dari seorang ahli hukum, tapi seorang yang pernah merasakan di sakiti hukum.  Tidak semua tindakan yang merugikan maupun tidak menyenangkan bisa dikategorikan pidana.  Ini yang banyak tidak di ketahui orang awam.  Tindakan kriminal itu adalah tindakan yang melanggar hukum pidana, sehingga bisa di penjarakan.

Pihak penegak hukum dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, juga sekarang KPK adalah institusi-institusi yang paling mengerti hukum dan tahu bagaimana mengolah sebuah kasus.  Disinilah letak masalah terbesar bangsa ini. Ketika para penegak hukum seharusnya mencari cerita yang sebenarnya dalam sebuah kasus dan tidak berpihak, maka seringkali yang terjadi adalah pihak yang bersengketa bisa "membayar".  Akibatnya, cerita itu bisa dibuat sedemikan rupa sesuai pesanan.  Sangat-sangat tidak manusiawi.

#Proses Peradilan Bagaimana Sebenarnya?

Kepolisian menurut survey adalah institusi yang paling korup. Sudah jelas penyebabnya, karena memang merekalah yang jadi TUHAN, dalan setiap laporan masyarakat.  Mereka berhak menahan 1X24 tanpa bisa di pra-peradilkan.  Setelah itu mereka bisa mengancam memberi tahanan sampai sekitar 3 bulan.  Setelah itu, ketika P21 (pelimpahan kasus ke kejaksaan), jaksa bisa menahan sampai waktu yang sama juga.  Jadi, notabene bisa sampai 6 bulan orang ditahan atau dipenjara tanpa tahu dia salah atau tidak.  Masih belum proses peradilan yang bisa sampai 6 bulan juga. Sangat-sangat gila.

#Kriminalisasi sebagai Modus Operandi Pemerasan

Kriminalisasi biasanya digunakan untuk "memeras".  Contoh, kita mengalami sengketa perdagangan dengan seseorang, maka kita tidak bisa bisa dipidanakan.  Kemudian, bisa dicari lubang hukum dalam transaksi dan dibuatkan cerita yang sumir (tipis, red) akan kasus itu.  Tidak penting menang atau kalah, yang penting kita diintimidasi untuk melakukan suatu tindakan yang kita tidak setujui.  Jadi mungkin bisa disebut  juga kriminaliasai adalah pemerasan yang legal.   Sangat-sangat jahat.

#Teriakan Korban Kriminalisasi

Ketika kita mengalami di persalahkan biarpun kita tahu kita dalam posisi benar, sakit hati rasanya.  "Sorry pak, itu sudah titipan Bapak Kapolsek", kata seorang penyidik.  Mendengar itu seperti di sambar halilintar.  Gila ini negara. Bukannya melakukan yang benar, malah menurut kepada pemimpin brengsek! Aku pun berfikir. Bangsa yang aku cintai, dan aku pun pulang untuk mencoba menjadi lilin kecil untuk Republik ini, tapi apa balasannya?  Marah, takut, sedih, bingung, tapi yang jelas Sakit Hati yang sangat dalam.

Jadi saya bisa membayangkan, perasaan dr. Ayu, atau ibu Sri Mulyani (Catatan: kalau memang mereka dikriminalisasikan).  Tidak nyaman! Apalagi agama saya mengajarkan tidak boleh membenci, dan harus mencintai.   Mengampuni musuh ternyata teori agama yang manis, tapi ya ampun, setengah mabok untuk menjalaninya. Melihat polisi seperti melihat kotoran sapi kalau kita di pihak yang terkena kriminalisasi. Itu saya alami.  Tapi untung, Tuhan pulihkan hati saya untuk melihat betapa beratnya kerja kepolisian untuk republik ini, dan ditemukan dengan polisi-polisi yang baik hati, yang ternyata jauh dari kotoran sapi.  Masih ada jaksa-jaksa dan hakim-hakim yang waras.  Hanya sistem yang sudah jahat membuat mereka tidak berdaya.  Sebab itulah saya mendukung penuh perubahan total budaya republik ini. Revolusi rakyat, revolusi budaya! Paling tidak saya mulai dari perubahan hati saya yang sakit, menjadi hati yang memberkati!
Sesulit apapun itulah yang saya coba lakukan, "lemah teles gusti Allah sing mbales, kata peribahasa jawa. Bereskan hati dan mengampuni semua pihak yang terlibat, dan mulai melihat dari sudut mata Tuhan.  Tuhan tidak pernah salah, berarti Dia mengerti dan perduli teriakan kita. Beres.  Dan terus lanjut, menyelesaikan misi kehidupan.
Proses kriminalisasi yang menyakitkan inilah yang saya tidak inginkan terjadi di bangsa ini lagi.  Kita harus tolak semua bentuk kriminalisasi baik demi kepentingan duit maupun politik.   Apabila ruangan itu gelap, maka lampunya tidak menyala.  Meskipun saya pernah merasakan kegelapan hukum di Indonesia ini, saya ambil keputusan untuk menyalakan lilin daripada mengutuki bangsa ini.   Karena untuk itulah saya pulang ke republik 10 tahun yang lalu, untuk Indonesia Baru.
Pendekar Solo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun