Kompasianer Ellen Maringka menjelaskan dengan jeli exodusnya Mohammad Harris Indra yang terpukau dengan pengalaman pribadi dia dengan Jokowi yang sangat berkesan (Baca). Kebenaran tesis Jokowi memanusiakan manusia dibuktikan dari peristiwa ini.
Diberitakan juga bahwa Harris kecewa dan kesal karea proses demokrasi di tubuh Gerindra yang kurang memuaskan dirinya. Sistem "tegas mendepak" orang yang seperti yang ditakutkan selama ini terbukti. Otoriter gaya militer yang gagal diterapkan di komunitas sipil.
Dia (Harris) kesal kepada Prabowo karena Fami Fachrudin, Ketua Bidang Ilmu Pengetahuan DPP Partai Gerindra didepak Prabowo Subianto. Dia menyebut pemberhentian Fami merupakan tragedi demokrasi partai. (Baca)
Lebih jauh Harris dengan tegas mengatakan bahwa dia bukan satu-satunya kader yang mendukung Jokowi tapi rata-rata takut bersuara karena takut KONSEKUENSI PARTAI.
Harris memahami alasan kader dan pengurus Partai Gerindra lainnya yang tidak berani terbuka seperti dirinya mendukung Jokowi.Sebab, lanjut Harris, bakal ada konsekuensi yang harus dihadapi mereka jika mendukung Jokowi. “Tidak semua orang kan berani mengambil konsekuensi,” ujar Harris. (Baca)
Pernyataan yang menarik, karena menurut saya sangat logis hal ini terjadi karena dua sebab:
1. Bergabungnya semua jenis partai ke gerbong Gerindra.
Gerindra yang murni nasionalis bahkan agak berbau kristen yang jadi tumpuan jebolan Golkar maupun PDS (Partai Damai Sejahtera) yang sudah almarhum, tiba-tiba berubah warna menjadi hijau royo-royo dengan masuknya PKS dkk.
Caleg-caleg asal gereja yang dulunya ditawarai rumah nasionalis yang baru sudah pasti akan termasuk kelompok kecewa yang dimaksudkan Harris. Tapi untuk keluar Gerindra mungkin sudah simalakama. Contoh jelas adalah AHOK. Bisa dibayangkan caleg-caleg yang belum dilantik? Mereka tidak akan berani kehilangan kesempatan duduk di DPR gara-gara secara terbuka keluar Gerindra.
2. Gaya Kepimpinan militer yang tidak cocok di alam Demokrasi.
Merubah gaya kepemimpinan bukan hal yang mudah. Apalagi kalau SEMUA pengalaman Prabowo yang dibanggakan adalah di militer. Sistem top-down ini yang bakal membikin frustasi sang jendral. Dalam sistem militer, membantah atasanpun dapat di tembak ditempat kalau dalam situasi perang.
Karena memang harus taat 100%. Sudah terbukti, sang jendral disuruh menculik pun mau. Dia pasti meminta ketaatan yang sama dari anak buahnya. Logis.
Pindah partai dan dapat jabatan atau dijanjikan jabatan itu cukup masuk akal. Tetapi pindah partai dengan alasan calon lain lebih baik, atau menjadi "secret admire" (pengagum rahasia) dari calon lawan adalah masalah besar.