Ronde kedua dari debat presiden sudah berlalu. Â Banyak catatan menarik dari dua kubu, dan seperti biasa masing-masing merasa menang. Â Ada mengatakan juga draw. Â Polemik itu menjadi tidak menarik lagi untuk diulas, karena masing-masing memiliki kacamata yang berbeda.
Tapi menarik di catat ternyata menilai hasil debat secara obyektif bukanlah hal yang mudah. Â Parameter apa yang harus dipakai untuk menilai hasil sebuah debat? Â Saya mengembangkan 5 parameter yang menurut saya bisa dipakai untuk menjadi alat ukur obyektif debat presiden.
Meskipun dengan alat ukur yang sama, saya yakin subyektifitas tetap akan ada. Â Its okay! Paling tidak kita mulai belajar menjadi pendukung yang rasional dalam mendukung calon kita masing-masing.
Lima Parameter Penilaian Debat Presiden
#1 Presuposisi
Presuposisi adalah latar belakang berfikir sebuah pernyataan. Â Orang yang rasional akan terbiasa membaca presuposisi. Â Dalam konteks Jokowi vs Prabowo, presuposisi yang saya tangkap adalah Jokowi menawarkan pendekatan humanis (orangnya), Prabowo lebih menekankan pendekatan ideologis (nasionalisme).
Sebab itu Jokowi akan selalu dari "apa kata rakyat" sehingga selalu menekankan arti "kebutuhan rakyat" Sedangkan Prabowo akan menekankan pada penafsiran arti nasionalisme itu apa. Â Ingat fasisme juga bicara soal nasionalisme, chauvinisme juga. Â Nasionalisme yang seperti apa yang sedang diusung?
#2 Esensi
Pernyataan-pernyataan selalu ada esensinya. Â Bukan sekedar redaksi. Â Kasus istilah TPID misalnya. Esensi pertanyaan tersebut bukan hanya disingkatannya tapi juga pesan yang mau disampaikan bahwa #JokowiTelahBekerja danPrabowo baru akan. Â Di lain pihak, pertanyaan Prabowo ke Jokowi tentang kontrak esensinya hendak membangun opini "saya berani menghadapi asing".
Keduanya valid menurut saya, tinggal rakyat memilih mau yang bekerja atau mau yang senang perang. Jadi menyalahkan Jokowi dengan pertanyaan TPID Â jelas tidak pas. Â Ingat ini DEBAT, bukan lagi brainstorming. Â Masing-masing sudah siap dengan amunisi pertanyaan dan memang didesain untuk memperlihatkan kekuatan sendiri, dan kelemahan lawan.
#3 Substansi
Substansi berbeda dengan Retorika. Â Membandingkan Jokowi vs Prabowo dengan Obama vs Romney seperti membandingkan mobil dan pesawat terbang. Â Kita belum sampai ke taraf itu. Tapi kita bisa belajar bagaimana substansi dalam perdebatan bisa meliputi konsep, implementasi, bahkan sampai ke pribadi dan itu sah-sah saja.
Jokowi lebih substansial ke implementasi, Prabowo ke konsep bahkan cenderung text-book. Dan jelas ini seperti membandingkan apel dengan jeruk. Secara rasional tidak bisa dibandingkan head-to-head. Tapi dari substansi ini dapat disimpulkan mana yang lebih dibutuhkan rakyat Indonesia sekarang ini, yang mau bekerja atau yang sekedar beretorika.
#4 Konsistensi
Semua pernyataan kita akan gugur kalau saling bertabrakan satu dengan yang lain. Â Konsistensi ini dipengaruhi dengan misi dan otentik. Â Bangsa ini sepakat tidak mau presiden yang double-standard. Artinya, selalu berubah-rubah wajah dan opini bergantung kepada keadaan dan situasi.
Jokowi konsisten dengan gaya, pesan, dan misinya. Â Prabowo konsisten "nasionalisme" dan gaya oratornya.
Tapi terasa sekali, untuk ronde kedua, Prabowo sedang mencoba merubah image emosional dengan cara membuat joke-joko, merangkul Jokowi, cipika-cipiki dengan mantan, membawa anaknya. Â Justru disini terlihat tidak konsisten, karena sedang mencitrakan sesuatu.
#5 Â Artikulasi
Penyampaian pesan dan juga berusaha mempengaruhi pendapat pemirsa jelas adalah hal yang sangat penting. Â Mengartikulasikan Presuposisi-Esensi-Substansi-Konsistensi dalam sebuah artikulasi yang memikat dibutuhkan.
Disini pendukung Jokowi menyadari bahwa Jokowi lemah dari sudut artikulasi khususnya untuk audience yang lebih educated. Â Tapi kalau untuk grass root, "ala Jokowi" ini masih diterima bahkan faktor kunci kemenangan.
Di lain pihak, Prabowo boleh dikatakan bisa menjadi motivator yang baik. Masalah nanti data keliru atau cenderung di mainkan seperti isu #UUDesa, itu tidak penting yang penting penampilan bagus dan dapat mempengaruhi orang.
Konklusi:
Debat ronde ke dua ini memperlihatkan bahwa Prabowo lebih percaya diri, rileks, dan mencoba memperlihatkan sisi humanis dia. Â Artikulasi yang bagus. Sementara Jokowi, tetap memperlihatkan ketangguhan dia bermain di birokrasi Indonesia dengan esensi, substansi, dan konsistensi yang diperlihatkan.
Presuposisi, saya masih belum bisa menerima kalau Nasionalisme ala Prabowo bukanlah bagian dari kepemimpinan otoriter dan cenderung ke fasisme. Â Bahkan Nasionalisme gaya prabowo hanya akan menyengsarakan rakyat di jangka pendek, karena berbahaya dimasa depan.
Bagaimana hasil debat presiden ronde ke-2? Â Bagi yang suka penampilan dan"isu nasionalisme" akan memilih Prabowo, bagi yang suka esensi, substansi, dan konsistensi akan memilih Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H