Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudut Pandang Pengembang Kurikulum Kasus PR Matematika Anak SD

23 September 2014   06:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:52 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam kasus diatas, anak kelas 2 SD ini belum paham maksud sang Guru, dan tidak paham mengapa disalahkan Guru.  Sang kakak yang mau membantu, justru jadi merasa bersalah karena ternyata membikin bingung sang adik. Kekacauan intelektul terjadi karena semua pihak tidak memikirkan anaknya.

Sebagai contoh lain, kasus asli yang dialami anak saya yang masih TK, ketika dia bertanya sama saya, "Pah, two wrong three, berapa?"  Saya bingung setengah mati ditanya seperti itu.  Saya jawab bahwa saya tidak tahu. Kemudian dia menjawab six!   Disitu saya baru sadar bahwa dia diajar oleh guru sekolahnnya yang pakai bahasa inggris cara membaca 2 x 3 adalah two wrong three bukannya two times three.

Kalau waktu itu saya salahkan gurunya, maka dia akan bingung, saya coba mengerti alur berfikir gurunya yang ternyata menggunakan tanda X yang biasanya artinya Wrong.  Maka saya melihat dengan cara membaca yang salah, dia sudah mendapatkan konsep yang benar tentang perkalian.  Yang saya lakukan adalah memberi dia tambahan fakta bahwa 2 X 3 dapat juga dibaca two times three ataupun da kali tiga.  Tanpa pernah menyalahkan dia.

Bagi saya yang penting adalah anak itu bersemangat dan terus ada keinginan belajar.  Konsep ini disebut konsep constructivism.  Anak dipacu untuk meng-konstruk sendiri pengetahuan itu dalam dirinya.  Dalam perjalanannya kekeliruan hanyalah bagian dari pembelajaran.  Guru bukan hanya delivering content, tapi fokus utamanya menjadikan anak menjadi seorang pembelajar.

#2 Pelatihan Guru dan Orang Tua

Saya menolak keras kurikulum 2013 bukan dari sudut konsep tapi karena melihat guru di Indonesia tidak siap dan harus mendapatkan pelatihan yang memadai. Bahkan bukan hanya guru, orang tua sebagai partner dari guru harusnya juga diperhatikan.

Ketika saya mendapatkan kehormatan untuk mengikut Focus Group Discussion (FGD) dari tim Pokja rumah Transisi bagian pendidikan non dan informal, saya cukup tercengang melihat begitu banyaknya pakar-pakar pendidikan di Indonesia yang begitu mengerti esensi dari pendidikan itu sendiri.

Bahkan seorang peserta FGD dari Surabaya mengusulkan bahwa keluarga adalah unit pendidikan formal yang harus diakui pemerintah.  Menarik bukan?

Poinnya adalah kasus matematika diatas jelas memperlihatkan bahwa peran "guru rumah" dan "guru sekolah" tidak bisa dipisahkan.  Anak belajar dalam konteks komunitas, tidak hanya dari sekolah.  Kebenaran di sekolah yang berbeda dengan kebenaran di rumah akan membuat seorang anak kehilangan kebenaran absolut.

Secara psikologis anak itu punya potensi untuk membuat kebenaran sendiri yang akhirnya akan menjadi pembenaran.  Alias kata, inilah awal mula dari lahirnya "anak-anak nakal" dan akhirnya tawuran-tawuran antar sekolah.  Mereka sudah tidak bisa lagi mengerti mana yang benar mana yang tidak.  Semua jadi relatif.  Posmo sekali.

#3 Pendidkan Sebagai Strategi Bangsa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun