Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

#ChapelHillShooting, Apakah Media Barat Benar Berstandar Ganda?

15 Februari 2015   05:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:10 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="omgfacts.com"][/caption] Sebagai  "Bapak Kompasiana", pernyataan Pepih Nugraha selalu menarik untuk di ikuti.  Ketika melahirkan hashtag #jangansensi pun saya ikut menjadi follower penyebar hashtag tersebut  karena menurut saya sangat pas menggambarkan suasana hati para komentator kampanye hitam. Sebab itu, ketika seorang Pepih mempublish tulisan yang berbau SARA dan cukup sarkastik karena ada kata-kata "bajingan tengik" yang tanpa sensor (3 Muslim Tewas Ditembak, Media Barat: “Itu Bukan Berita!”),  tak mengherankan kalau tulisan tersebut menarik banyak penulis tangguh yang lain untuk mengomentari. Dalam kasus ini sebenarnya saya mencoba jadi silent reader dan belajar mengerti  bagaimana jurnalis/penulis berfikir dan melihat sesuatu.  Tapi ternyata status terbaru "kang Pepih", mampu membuat saya ambil waktu duduk di depan laptop untuk menuliskan artikel ini.  Di status fb.com/pepih ada kalimat yang menurut saya penting untuk didiskusikan lebih lanjut.  Statusnya sebagai berikut:

Saya (Pepih, Red) pun dicaci-maki oleh komentator yang mampunya memang baru tahap memaki, padahal analisis dan gugatan saya semata-mata dari sisi berita dan "nilai berita", bukan persoalan agama atau keyakinan.

Status yang cukup jelas untuk mengklarifikasi bahwa "maksud saya" adalah bla bla bla.  Kalau sebuah tulisan harus diterangkan kembali, kemungkinan besar tulisan tersebut kurang jelas atau ambigu atau memang sengaja diplesetkan.  Dalam hal ini, saya percaya penuh seorang Pepih tidak akan terjebak dalam isu-isu SARA.  Kalapun ada terasa "suasana sensi" dalam tulisannya kali ini, Pepih secara eksplisit sudah mengakui bahwa dia melakukannya karena "terpaksa".

***

Sekali lagi saya katakan, ketulusan seorang Pepih tidak sepantasnya diragukan.  Tidak mungkin Pepih akan mengotori Kompasiana dengan sampah kesensian demi mengobral nafsu kebencian.  Tapi bukan berarti seorang Pepih tidak boleh dikritik dan diluruskan.

Dalam konteks tersebut, saya mencoba memberikan pandangan yang berbeda tentang media barat yang menurut Pepih berstandar ganda.  Dan standar ganda tersebut secara eksplit disebutkan dalam paragraf berikut:

Rasa empati dan simpatik yang mereka miliki tiba-tiba menguap tak berbekas kalau yang menjadi korban adalah Muslim (maaf, terpaksa saya harus mengatakannya demikian). Mereka tidak mengutuk si pembunuhnya sebagai teroris karena ia bukan Muslim. Jadi bagi mereka, kemanusaian, empati, dan simpaik pun “punya agama” sendiri. Mereka, media Barat dan Pemimpin Barat itu setali tiga uang, pilih-pilih. Mereka sebut teroris kalau pelakunya Muslim dan korbannya kebetulan non Muslim (lagi-lagi terpaksa saya mengatakannya demikian). Sebaliknya, mereka sebut ini pembunuhan biasa kalau pelakunya non Muslim dan korbannya Muslim. Definisi inipun mereka tentukan sendiri.

Tuduhan yang tidak main-main.  Karena bukan hanya medianya, tapi juga pemimpinnya yang "dituduh" Pepih. Apakah benar  media "barat" ini sangat Islamophobia?  Isu ini harus diluruskan karena bisa menjadi snowball yang tidak positif kedepannya.

Kata kunci tuduhan Pepih Nugraha ada dikata PILIH-PILIH.  Media barat memilih "seenaknya" menurut "maunya" dan tidak fair.  Itu yang saya baca sebagai dalih utama.  Dan itu membuat saya tersenyum tapi agak kecut kali ini. Mengapa?  Karena dari waktu ke waktu, dunia kecil Kompasiana sendiri selalu di penuhi dengan pertanyaan mengapa Admin Kompasiana PILIH-PILIH HeadLine, Trending Article, Highlight Article, dan Featured Article. Banyak ketidakpuasan yang muncul dan Admin Kompasiana "cuek bebek" soal hal ini.

Saya pribadi sudah mengerti kalau menulis di Kompasiana yang harus terserah Admin Kompasiana, jadi hampir tidak pernah mempermasalahkan soal HL, TA, dsb.  Kembali ke "laptop", saya tersenyum kecut karena tiba-tiba Bapak Kompasiana komplain ketika admin media barat tidak meng-HLkan #ChapelHillShooting.   Ironis bukan?

***

Kita tidak pernah tahu mengapa artikel di HL-kan atau tidak.  Semua terganting Admin Kompasiana.  Kita hanya bisa menebak mengapa satu artikel di HL, TA, atau Highlightkan sementara yang lain tidak.  Karena tidak pernah ada guideline resminya juga.  Apalagi bagaimana admin media barat memilih berita yang "breaking news" atau perlu digoreng atau tidak.  Kita, termasuk Pepih Nugraha pun, hanya bisa menebak.  Dan tebakan Pepih karena media barat Islamphobia.  Kembali pertanyaannya benarkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun