[caption id="" align="alignnone" width="569" caption="globalindo.co"][/caption] Golkar, Nasdem, Hanura, Gerindra yang mengusung nasionalisme sebagai jualan politiknya semuanya berakar kepada partai kuning, Golkar. Â Dilain pihak, PDI-P menjadi partai nasionalisme satu-satunya yang konsisten sejak orba memperjuangkan Sukarnoisme. Â Megawati, di sisi lain, adalah politikus-negarawan yang terbukti mampu membawa PDI-P dari partai yang terzolimi orba menjadi partai penguasa. Fakta-fakta diatas adalah sejarah. Â Suka atau tidak suka dengan PDI-P dan Megawati, kita harus fair bahwa mereka sudah menunjukkan konsistensi ideologis yang sangat penting bagi bangsa ini. Sebagai partai wong cilik, PDI-P benar-benar menjelma menjadi "Indonesia kecil". Â Di dalam nya banyak faksi-faksi yang berbeda dan memiliki kepentingan. Â Dan Mega rupa-rupa nyaman dengan banyaknya perbedaan di dalam partainya. Â Berbeda dengan Gerindra, dan Demokrat misalnya. Â Dua partai itu sangat Prabowo dan SBY. Â Kisah sedih Anas yang mencoba mengambil alih pengaruh Cikeas sudah terbukti bahwa demokrasi tidak berjalan baik di dua partai itu. Faksi-faksi dalam tubuh PDI-P semakin jelas nampak ketik mereka menjadi partai pemenang pemilu 2014. Â Hasto, Trimedya, Effendi Simbolon, Marruar Sirait, Puan, sampai Jokowi sendiri terasa masing-masing punya agenda. Â Dari fakta ini, kita bisa menyimpulkan bahwa permainan politik Jokowi di dalam PDI-P termasuk ajaib juga. Sebagai pemain baru di dalam partai dia bisa melejit menjadi calon presiden dari partai ini.
***
Memimpin kebhinekaan berbeda dengan memimpin "komunitas homogen". Â Tingkat kesulitan jauh lebih tinggi mempin dalam kebhinekaan. Â Atmosfir kebhinekaan dalam PDI-P sebenarnya adalah sesuatu yang sehat dan bagus, karena dengan demikian kader-kader yang dihasilkan bisa lebih terbiasa bermain dalam "macam-macam" kepentingan.
Dalam banyak kepentingan komplektsitas atmosfir politik semakin tinggi. Â Dan salah satu teknik yang biasa dipakai untuk menjajagi perbedaan adalah DEVIL ADVOCATE. Â Dalam teknik ini, satu pihak akan berperan sebagai DEVIL alias antagonis terhadap suatu ide. Â Tujuannya untuk bisa melihat sampai sejauh mana ide tersebut bisa bertahan.
Dalam konteks suasana politik terkini, saya melihat bahwa PDI-P sedang memainkan peran Devil Advocate terhadap pemerintahan Jokowi. Â Banyak hal-hal yang janggal dari apa yang dilakukan Hasto, dkk. Â Teknik ini mulai terasa sejak PDI-P dibantai KMP di DPR.
Dan setelah Pramono Anung mampu dengan cantik memainkan kartunya dengan menolak jadi pemimpin di DPR Tandingan, maka Pramono Anung mendapatkan panggung yang baik. Â DPR tandingan pun ternyata mampu membuat suasana DPR menjadi kondusif. Â Dan puncak prestasinya adalah di setujuinya APBN-P dengan lancar.
***
Pertemuan "Soto Gading" antara Mega, Jokowi dan petinggi-petinggi KIH jelas adalah sebuah bentuk penyampaian politik bahwa Mega tidak sebodoh yang diopinikan. Â Mega semakin "dewasa" dan mampu menahan emosinya dengan memainkan perannya sebagai pendukung Jokowi dengan cara "kreatif".
Mega concern di politik, Jokowi concern di ekonomi. Â Hal ini jelas terbaca. Â Kombinasi keduanya sebetulnya hal yang baik, karena musuh politik akan semakin sulit menebak bola-bola ping-pong mereka. Â Bola kosong atau bola plintir. Â Dan menurut saya, melihat ganasnya KMP di pemilu2014, dan awal-awal pembentukan pimpinan DPR teknik "Devil Advocate" PDI-P ini cukup bagus dimainkan.
Politik selalu berbasis kepentingan. Â Kepentingan Mega dan PDI-P adalah mempertahankan kemenangan. Â Tidak mungkin mereka akan melepaskan kemenangan tanpa perlawanan. Â Kebalikannya, KMP setulus apapun pernyataan mereka mau membantu Jokowi, mereka akan selalu mencari celah politik untuk membantai Jokowi. Minimal 2019 mereka tidak mau kalah lagi.
Bagi rakyat, kita persilakan mereka bermain politik apapun, tapi yang jelas kepentingan rakyat yang harus di nomersatukan. Â Bukan kepentingan partai, tapi kepentingan NKRI. Â Kita doakan dan kawal bersama.