"Bila yang ditimpa musibah adalah orang yang kita cintai, maka kita akan mengatakan bahwa itu adalah penghapus dosa. Tetapi bila yang ditimpa musibah adalah orang yang kita benci, maka kita akan mengatakan bahwa itu adalah hukuman dari Allah. Maka berhati-hatilah dari menghukumi takdir Allah sesuai hawa nafsu kita". Kutipan tersebut adalah satu dari sekian kutipan syekh Ali Jaber yang cukup relevan dengan apa yang sering kita alami. Kutipan tersebut adalah gambaran nyata bagaimana kita seringkali menghukumi berbagai hal hanya dengan berdasarkan hawa nafsu kita.
Kata-kata yang ada dalam kutipan tersebut adalah bentuk mawas diri yang harus kita miliki, kita tidak boleh mengklaim apa yang dialami orang lain berdasarkan hanya pada apa yang kita lihat, kutipan tersebut juga merupakan bentuk ajakan agar kita senantiasa berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan serta berhati-hati dalam mengendalikan hawa nafsu kita. Jangan sampai hawa nafsu menjadi pemicu utama kita dalam melakukan hal buruk ataupun menghukumi sesuatu yang tidak seharusnya kita lakukan.
Dalam tulisan Abi Quraisy Shihab "Al-quran Rahmat bagi Manusia", beliau menuturkan bahwa dalam surat Al-Jatsirat ayat 23 disebutkan manusia memiliki hawa nafsu dan dapat bertindak untuk memposisikan hawa nafsu tersebut. Dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa ketika manusia memilih untuk mengikuti dan menuhankan hawa nafsunya, maka Allah akan mengunci mati hati, pendengaran, penglihatan serta membiarkannya menjadi sesat. Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa manusia harus benar-benar berhati-hati dalam menghadapi godaan hawa nafsunya.
Selain itu, dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga disebutkan bahwa "Orang yang berjihad sejati adalah orang yang memerangi hawa nafsunya karena Allah". Hadits tersebut jelas menekankan adanya seruan untuk memerangi hawa nafsu yang dapat menguasai diri dan mengarahkan diri pada hal-hal buruk. Berbagai penjelasan baik dari ayat quran maupun hadist sama-sama menyerukan manusia untuk dapat mengendalikan hawa nafsu dengan baik. Â
Imam Ghazali dalam kitab Kimyah As-sa'adah mengibaratkan manusia seperti sebuah negara (madinah), tubuh seperti wilayah kekuasaan (dliya') dan syahwat seperti perdana menteri (waliy) yang bertugas untuk mengatur pemerintahan atas perintah raja. Imam Ghazali juga mengibaratkan qalbu seperti seorang raja (malik) dan akal seperti penasehat raja (wazir). Ketika perdana menteri begitu cakap dan memiliki pengaruh yang kuat, lalu sang raja justru menjadi lemah dan bodoh maka seluruh kerajaan akan tunduk di bawah kendali sang perdana menteri, termasuk raja dan para penasehatnya. Dari sini maka dapat kita ibaratkan seperti hawa nafsu manusia. Ketika hawa nafsu seseorang menjadi begitu kuat menguasai tubuh, sementara akal dan qalbunya lemah maka perilakunya sehari-hari hanya akan mengikuti kemauan hawa nafsunya.Â
Kondisi tersebut merupakan kondisi yang umum dialami oleh manusia, manusia seringkali dikelilingi oleh hawa nafsu yang menjajah kekuasaan qalbu dan akal sehingga pada akhirnya bertindak tanpa berpikir dan berakhir dengan penyesalan.
Manusia perlu berhati-hati dan mengendalikan hawa nafsunya, upaya yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan selalu berdoa kepada Allah SWT dan senantiasa meminta pertolongan padaNya. Selain itu, berjuang melawan diri sendiri serta mengingat risiko yang akan timbul dari perbuatan yang  dilakukan juga merupakan upaya untuk bisa mengendalikan dan melawan  hawa nafsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H