[caption id="attachment_80604" align="alignnone" width="425" caption="Secretary, well done!"][/caption] Dua hari terakhir ini, meski tak punya sekretaris, saya terhentak dan sangat merasa perlu menuliskan kisah ini. Sekretaris, bukan karena perannya yang memang seharusnya menjadi asisten handal untuk boss masing-masing. Tetapi, di atas itu semua, sekretaris yang benar, sungguh menjadi pahlawan penyelamat koneksitas. Apa buktinya?  Jumat, 17 Desember 2010. Pukul 17.30 WIB. Sudah lewat jam kerja. Dalam kondisi meriang di rumah, saya baru ingat, kapal well testing barge - yang baru selesai dibangun di galangan Merak, Banten - akan bertolak ke lokasi operasi Kalimantan Timur tanggal 20, tiga hari lagi. Memang masih tiga hari lagi, tapi, bukankah besok dan lusa adalah week-end? Kalau tiba-tiba Senin 20 Desember 2010 itu kapal berangkat, dan belum sempat didokumentasi habis-habisan di sini, alamak, betapa rumit mendokumentasikan alat yang sudah berada di kawasan operasi! Belum lagi izin-izin dari pemilik lapangan migas. Maklum, kantor tempat saya bekerja adalah penyedia jasa. Begitu masuk kawasan operasi, kita yang bekerja di sana, meskipun alatnya memang punya kita, tetapi sepenuhnya kita wajib penuhi aturan pemilik lapangan.  Nah, selagi kapal alat pengetes kandungan minyak atau gas ini masih gres di lokasi pembangunannya, kesempatan paling simpel ya ambil gambar sepuas hati di galangan. Banyak hal yang harus disiapkan untuk keberangkatan tim dokumentasi ke lokasi galangan: kesiapan tim fotografi bekerja week-end, alat-alat fotografinya, izin masuk galangan, Surat Jalan, izin dari Project Manager di Divisi yang memiliki project, contact person di lokasi galangan, driver, dana perjalanan, sampai pengaturan talent, kostum objek foto, hingga detail jadwal yang harus tight diatur dan dikoordinasikan lintas fungsi. Well testing barge adalah salah satu masterpiece dari Oilfield Services Division. Karena izin prinsip dari big boss di divisi ini sudah saya kantongi dari jauh-jauh hari, tinggal hal-hal teknis yang perlu dikoordinasikan. Untuk keperluan kontak ke sana kemari, saya hubungi satu nama yang saya tahu selalu tanggap ketika di SMS. Dia adalah sekretaris dari Division Head Oilfield Services, Anissa Rhamadya. Sent. Saya minta nomor telepon genggam Project Manager kapal baru ini. Betul, Anissa memang selalu tanggap. Ini keistimewaan dia. Lha, bukankah tanggap adalah hal yang biasa? Betul, tanggap memang biasa. Tetapi di jaman serba itungan begini, ditanyai itu ini di luar jam kerja, apalagi sedang repot-repotnya di perjalanan, macet, atau barangkali ibu dua anak yang masih kecil-kecil ini baru tiba di rumah, langsung momong, atau memandikan bayinya, maka soal tanggap menjadi istimewa! Ini bukan kali pertama. Mungkin saya manusia paling merepotkan dia soal menanyai contact person di divisinya. Bukan tidak ada cara lain. Tapi, operator di kantor cabang manapun - di divisinya - tidak lebih tahu nomor-nomor kontak di daerahnya. Kepada Anissa, saya bisa bertanya nomor kontak orang lapangan di Palembang, di Cirebon, Balikpapan. Bahkan kalau Anissa melihat saya cengok  kehabisan bahan cerita untuk diberitakan, suatu kali ia tiba-tiba nyeletuk, "Teh, itu Huda yang jarang ketemu teteh coz memang banyak di lapangan, punya foto-foto di bawah air, loh. Dia diver.  Hobby fotografi juga."  Wah, gimana gak bikin loncat tuh. Ini asik, karena tenggat operasi yang ketat masih menyisakan kesempatan bagi hobbiest untuk tetap setia dengan hobbynya. Sekaligus pembuang stress dari rutinitas kerja. Ini bisa jadi tulisan yang asik. Tentu saja segera saya 'tangkap' Huda Surya Buana. Itulah Anissa. Kembali ke kisah kemarin itu. Alhasil, persiapan dengan jalur telepon, SMS, BM, e-mail, transfer ATM, dilakukan dengan mantap dari kemarin sampai Sabtu pagi. Dan, dengan sukses, hari Sabtu 18 Desember 2010, tiga fotografer internal kami, dengan driver, selesai melaksanakan tugasnya pukul 16.40 WIB. Ketika tulisan ini digurat, mereka sedang di perjalanan pulang ke Jakarta. Bisa jadi Anissa tidak menyadari begitu penting peran tanggap yang ia lakukan kemarin. Sekarang mungkin ia sedang nonton televisi atau jalan-jalan sore dengan keluarga kecilnya. Ada satu lagi sekretaris yang harus saya sebut untuk kontribusi 'proyek kaget' ini. Namanya Maria Fransisca, sekretaris di Divisi Health, Safety, Environment. Saya tahu persis, keberangkatan kapal tidak akan terjadi tanpa stempel OK dari divisi ini. Maka saya minta contact person Safety Officer untuk well testing barge ini, lima menit sebelum Maria pulang kerja. Sekalian permohonan sisipan, untuk menyampaikan request kendaraan dan driver ke koordinator fasilitas kendaraan. Kalau bukan dari Maria, mana saya tahu ternyata koordinator fasilitas kendaraan bukan lagi bernama Bambang, melainkan Rusdi, boss para driver.  Saya pun bisa mengontak boss mobil ini.  Saat saya tulis ini, Maria juga mungkin tidak menyadari betapa berharganya informasi yang diberikannya untuk saya. Sekarang barangkali Maria sedang menyiapkan masakan untuk makan malam atau sedang bungkus-bungkus kado Natal bersama keluarganya. Inilah tentang Sekretaris. Saya menaruh hormat pada mereka. Masih hari yang sama, pukul 10.33 WIB. Ada lembar undangan yang perlu didiskusikan sebelum disebarkan; untuk acara tanggal 22 Desember 2010. Idealnya, undangan itu sudah beredar pekan ini. Ya Jumat lah, terakhir. Tapi apa mau dikata, ternyata undangannya memang belum ditandatangani Direktur SDM dan Umum. Karena saya tak karuan panas dingin, dari rumah saya kontak sekretaris Direktur SDM dan Umum: Primadita Rizkiawardhani. Memang sudah pintar, jadi tidak pernah capek bekerja bersamanya.  Jebolan S2 Komunikasi. Saya senang bisa dapat ilmu-ilmu terhangat dari Dita, nama panggilannya. Maklum, meskipun saya di fungsi komunikasi, tetapi background pendidikan formal saya jaka sembung naik ojek, alias tidak nyambung, jek. Jadi, selalu haus ilmu komunikasi. Saya akuntan tapi jadi communicator, hahaha, ketawa Bombay, tapi sebetulnya pasti yang pada ketawa itu menyimpan dendam sekaligus kagum  (bolehlah bangga sedikit pada diri sendiri). Begitulah, karena belepotan di dunia komunikasi sejak kuliah sampai 21 tahun kemudian,  ya saya siap hebat mengawal unit kerja ini. Kembali ke Dita. Ketika saya mohon di-email draft surat Undangan itu kepada saya dan e-mail kepada tim yang sedang Rapat Kerja bersama Direktur SDM dan Umum di luar kantor, Dita mengusulkan satu hal di atas ekspektasi. "Saya kirim scan surat yang sudah diparaf, ya, Teh," begitu pesan di BM-nya. Tentu saja saya girang alang kepalang. Dokumen scan, jauh lebih valid ketimbang draft. Saya langsung reply BM-nya dengan ucapan, "Terima kasih banget, Dita pinteeerrrr...." Satu hal lagi yang harus diakali adalah, bagaimana dokumen yang di e-mail Dita bisa menjadi bahan diskusi di Rapat Kerja sana, sementara saya tidak di sana. Saya sempat stuck karena petinggi yang idealnya berdiskusi dengan sang Ibu Direktur, ternyata tidak siap menerima e-mail - entah karena tidak ada Blackberry, atau fungsi BB-nya sedang down, atau memang tidak bisa buka attachment di gadgetnya. Maka, yang harus dilakukan adalah mengirimkan e-mail ke lokasi Rapat Kerja kepada contact person di belakang layar; yang pegang laptop, terkoneksi internet, plus ada printer. Nah. Seorang sekretaris lagi yang saya hubungi, Chynthia Hapsari.  Dari Chynthia saya mendapat informasi segalanya, contact personnya, nomor telepon genggamnya, dan dengan mudah saya bisa mengontaknya, memintanya untuk melakukan fungsi business corner di tengah rapat kerja yang ketat. Hasilnya menyenangkan. Pada jam istirahat jumatan, dokumen untuk tanggal 22 Desember itu bisa dibahas. Saya bisa tidur lagi setelah teler menenggak pereda demam. Jadi, sekali lagi, hormat saya pada para sekretaris. Tentu masih ada lagi kisah Kamis, 16 Desember 2010. Sehari sebelumnya, dan sebelumnya lagi, dan lagi. Selain Anissa, Maria, Dita, Chynthia, masih ada nama yang tak terlupakan: Maharani Cindy Oppsedha. Baru-baru saja ditempatkan sebagai Sekretaris untuk Division Head of Corporate Legal. Pengalamannya panjang di operasi, di lapangan. Karena untuk fungsi hukum, sekretarisnya harus paham hukum, maka Cindy yang berlatarbelakang pendidikan Sarjana Hukum didapuk untuk menjadi dirigen buat semua awak hukum di perusahaan kami. Nah, serunya Cindy, bukan hanya sekretaris di belakang meja. Saya membuktikannya, sekretaris yang satu ini gesit ketika terjun sebagai relawan pada fase pre-recovery pasca erupsi Merapi. Saya cukup mendirect dari Jakarta garis besar aktivitas yang diagendakan di lokasi, selanjutnya Cindy sempurna mewujudkannya. Mengatur meeting, jadwal perjalanan, menurunkan logistik, serah terima sapi (kebetulan pas Idul Adha), agenda-agenda dukungan non-logistik, dokumentasi hingga media relations. Di hari terakhir, Cindy mendapat apresiasi dari puluhan relawan TNI dan lembaga kemanusiaan atas kebersamaannya di Jogjakarta.  Sophisticated. Dan, setidaknya saya punya satu nama lagi - maganger sekretaris, statusnya sebagai sekretaris pengganti. Ia adalah Sri Putri Utami, dipanggil Aca.  Kamis, saya terkaget-kaget karena baru saja tiga menit mengirim e-mail padanya untuk minta diprintkan, eh, ketika saya lewat ke mejanya, surat itu sudah siap saya tandatangani. Sehari sebelumnya, saya terkaget-kaget juga karena urusan proposal-proposal Permohonan Sponsorship yang banyak itu, yang biasa harus antre panjang untuk menyampaikan jawaban 'accepted' atau 'rejected', rupanya sudah rapi dipilah-pilah Aca berdasarkan rekomendasi. Kerja cepat. Yang teruji berkali-kali kehandalannya tentu saja sekretaris untuk Direktur Utama kami. Anggi Sahertama, masih muda, tenang, beberapa kali menyelamatkan situasi chaos dan mengatasi masalah tanpa masalah (lah, bener, bukan iklan). Hmm, tahu 'kan, bagaimana energi wartawan menembus narasumber.  Kalau wartawan sudah punya mau, seng bisa dilawan. Begitupun kali itu. Pas hari Barack Obama ke kampus UI Depok. Dirut kami, yang ditarget sebagai narasumbernya, sudah siap pukul 09.00 WIB. Ini adalah kesempatan kedua. Sebetulnya sepekan sebelumnya, Anggie sudah menyediakan jadwal boss-nya menerima wartawan ini. Tapi, karena meleset - bahkan di jam itu ia baru sampai di bundaran HI, bagaimana bisa sampai ke Cilandak Timur secepat kilat. Lha jadwal ulang, lah. Alkisah, Anggie mengontak saya, bahwa untuk kedua kalinya ini, ternyata neng wartawan ini juga tidak tepat waktu. Tapi keukeuh mau bertemu Dirut. Padahal, tidak mungkin lagi karena jadwal hari itu penuh. Kalau tidak on-time, ya lewat, karena sejam setelah jadwal untuk wartawan, Dirut sudah punya jadwal yang padat. Persoalan keukeuh memang harus dihadapi. Bukan untuk saling berkeras, melainkan untuk diberikan solusi.  Anggie memberikan jalur alternatif solusi itu pada saya, memang tugas saya. Dengan kondisi yang ada, saya tetap harus bisa membantu wartawan, sekaligus tidak mengganggu jadwal Dirut. Singkat kata, saya berkomunikasi dengan adinda wartawan itu. Katanya, bukan salahnya telat. Ini karena Obama. Jalanan macet. Jadi, Dirut kami harus memakluminya, dan harus tetap bersedia menerimanya untuk wawancara ketika ia tiba di kantor kami. Saya berikan solusi untuk wawancara tertulis deh. Saya siap membantunya untuk mewakilinya mewawancarai Dirut begitu beliau senggang, kapan pun, dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa ia e-mail ke alamat saya. Tapi adinda wartawan ini menolak. Ini wawancara eksklusif, ia harus bertemu langsung, katanya. Belibet seperti ular tangga,  40 menit bicara sana sini, nyaris chaos, apa mau dikata, ujung-ujungnya tetap ia keukeuh mau datang saja. Betul juga. Adinda wartawan datang pukul 11.30 WIB, satu jam setengah terlambat dari jadwal seharusnya. Dirut sudah beredar. Saya pun ada agenda lain, sehingga Anggie yang menghadapi Miss Keukeuh ini. Bagaimana cara Anggie menghadapi situasi yang - bahkan bagi saya yang dulu reporter dan paham bagaimana tuntutan profesi ini - lha, saya bisa naik tensi karena kehilangan empati dari sikap keukeuh sang wartawan. Tapi Anggie punya cara mengatasi masalah tanpa masalah.  Rrruarbiasa. Berderet-deret kisah bersolusi bersama Anggie; bahkan ketika saya sedang blank tidak punya bahan untuk menulis separagraf pun materi pidato Dirut, maka Anggie menyodorkan apapun yang bisa dijangkaunya untuk membantu saya mendapatkan kembali inspirasi. Amazing Anggie. Inilah sekretaris. Solusi juga soal dana yang mereka pegang di petty cash. Saya selalu ingat kecepatan Maria, Anggie, Anissa yang lancar memberikan jalan keluar dengan sigap transfer by ATM, siap cash, atau minta tunggu sebentar dan lima menit kemudian masalah tuntas. Tak dipungkiri, ada juga sekretaris yang defensif sekalipun keliru. Atau selalu saja petty cash-nya kosong. Atau perlu waktu sepekan untuk print satu dokumen alias leletnya minta ampun. Atau pelupa (padahal harusnya menjadi pengingat agenda, ya). Atau bahkan tidak bisa memprint Microsoft Excel.  Atau tidak bisa bahasa Inggris. Atau e-filing yang berantakan abis. Jadi, tiap membuat dokumen baru, ya musti benar-benar bikin baru, karena kalau mencari file sebelumnya yang serupa, ah, dijamin perlu waktu yang lebih lama. Haduh. Maka, berbahagialah para sekretaris jempolan. Kalaupun jarang mendapat cium pujian di pipi kalian, tetapi dalam hati kecil siapapun yang pernah Anda bantu, menyiratkan penghargaan, yang tak sempat terkatakan. (HN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H