(Kolaborasi Antara AI dan Scientist Berhasil Temukan Kelas Antibiotic Baru Untuk Mengatasi Krisis Resistensi Menggunakan Metode Deep Learning)
Resistensi antibiotik, dikenal sebagai antimicrobial resistance (AMR). Keadaan dimana antibiotik tidak lagi efektif mengobati infeksibakteri (bakteri menjadi kebal). Kekebalan yang dimiliki oleh satu bakteri dapat ditularkan ke bakteri yang lain. Hal inilah yang menjadi penyebab kekhawatiran di seluruh dunia, yaitu cepatnya perkembangan resistensi antibiotic yang jauh melebihi kecepatan penemuan antibiotic baru. Oleh karena itu, ketersediaan inovasi antibiotic baru yang efektif melawan resistensi AMR, telah menjadi perhatian global beberapa tahun terakhir.
Dinyatakan sebagai silent pandemic, lebih dari 4,95 juta kematian terkait dengan resistensi antimikroba bakteri, dan 1,27 juta meninggal langsung karena resistensi antimikroba. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 2,8 juta infeksi yang resisten terhadap antimikroba dan 35.000 kematian setiap tahunnya. Angka kematian yang diproyeksikan pada tahun 2050 akibat antimicrobial resistance (AMR) mencapai 10 juta orang setiap tahunnya.
Kini, AI (Artificial Intelegnt) dengan metode deep learning, membantu scientist menemukan kelas structural antibiotic baru. Â Metode deep learning merupakan metode dalam AI yang mengajarkan computer untuk memproses data dengan cara yang terinspirasi oleh otak manusia. Kolaraborasi antara scientist dan AI ini efektif untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus (MRSA) yang telah resinsten terhadap methycilin. Penelitian ini dilakukan oleh Felix Wong, James. J. Collins dan lainnya yang terafiliasi dengan Massachusetts Institute Of Technology (MIT), Harvard University, Harvard Cambridge dan universitas lainnya.
Staphylococcus aureus (S. aureus), merupakan bakteri gram-positif yang banyak ditemukan di kulit, saluran pencernaan, saluran pernafasan dan lainnya. Bakteri ini dapat  infeksi pada manusia seperti infeksi kulit, infeksi bakteremia, dan pneumonia. Lebih dari 120.000 kematian di seluruh dunia di tahun 2019 disebabkan MRSA.
Dalam penelitiannya, peneliti melibatkan metode AI yang disebut dengan chemprop. Chemprop memperluas model jaringan saraf tiruan menggunakan algoritma pencarian grafik untuk penemuan antibiotic, yaitu dengan melatih kumpulan data besar yang mengukur aktivitas antibiotic yang tinggi dan prediksi sitotoksisitas yang rendah pada sel manusia. Peneliti menguji secara empiris 283 senyawa dan menemukan bahwa salah satu substruktur nya bersifat selektif terhadap Staphylococcus aureus (MRSA) yang resisten methisilin dan enterokokus yang resisten terhadap vankomisin. Kemudian penelitian tersebut diujikan pada tikus dan akan melakukan tahap uji klinik nantinya. Para peneliti mengatakan bahwa dengan metodenya memungkinkan penemuan kelas struktural antibiotik yang dipandu metode deep learning. Dari pernyataan tersebut mulai adanya titik terang bahwa krisis resistensi akan bisa teratasi kedepannya.
Nyatanya AI tidak sepenuhnya dapat menggantikan manusia di masa depan. Hal yang dilakukan oleh AI tergolong masih dikendalikan oleh manusia. Namun, adanya AI justru menjadi anugrah bagi para scientist. Kolaborasi AI dan scientist dapat menghasilkan penelitian yang luar biasa, dimana inovasi antibiotic yang telah lama dinanti untuk menyelesaikan krisis AMR, kini muncul kembali.
Tergantikan atau tidaknya manusia dengan AI tergantung pada manusia itu sendiri. Jika kita bisa memanfaatkan AI dengan bijak maka inovasi yang luar biasa akan tercipta seperti hal nya yang dilakukan oleh peneliti MIT dan Harvard Unuversity. Sebaliknya, jika kita terlena maka besar kemungkinan isu manusia tergantikan oleh AI akan terjadi dimasa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H