Perlahan terdengar gemericiknya, suara hujan di pelataran, tetesanya menyentuh pucuk-pucuk daun akasia yang berdesakan di halaman belakang villa biru.
Angin terdengar riuh menghampirinya, melenyapkan berbutir lelehan rimbun remis yang berjuntai, desauannya menyentuh kabut-kabut yang bertabrakan di antara kepulan-kepulan gerimis.
Senja berkalung butiran bening yang datang melenyapkannya, dari gelang-gelang keemasan yang selalu melingkarinya, kini hanyalah sepoian-sepoian rintih yang mengikat temali mentari.
*
Jauh kehidupan meninggalkannya, dari larik-larik pemantik kehangatan bianglala yang mewarnainya, api harapan yang tergilas bisu-bisu roda perjalanan, hanya tinggalkan debu-debu sampah yang berserakan dihatinya.
Daun pun mengering, terakhir helaiannya melayang-layang diangkasa, terbang melintasi angan-angan yang mengambang, antara kenyataan dan kekosongan.
September berlalu begitu cepat..
Akhir perjalanan hidup yang menyisakan pahit-pahit kenyataan, dari sebuah biji rempah tanaman yang layu ketika berkembang.
**
Dia hadir ketika semi musim berawal, laksana secercah mentari yang menghidupkan kembali dedaunan yang terkapar ketika beku salju mematikannya.
Pendar-pendar cahaya pun mulai menyinari, menghangatkan kedinginan yang lama telah beradaptasi, di lingkaran putih-putih berguguran.