Tema lomba blog adalah “Apakah kamu seorang pelari”. Untuk mengikuti lomba blog ini, kompasioner diminta menuliskan pengalaman dan cerita menarik saat mengikuti lomba lari. Loh, memang apa hubungannya antara menjadi pelari dengan mengikuti lomba lari? Apakah mengikuti lomba lari adalah syarat supaya seseorang bisa disebut pelari?
Tenang, pertanyaan saya merupakan pertanyaan retorika, artinya pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Tapi boleh direnungkan, tentu saja.
Apapun pendapat Anda tentang pertanyaan saya, ikut lomba lari memang menyenangkan dan bermanfaat. Ada satu lomba lari yang sungguh berkesan buat saya, yaitu sebuah lomba lari virtual yang diadakan oleh satu perusahaan asuransi di Indonesia. Lomba ini terbuka bagi umum. Uniknya, selama kurang lebih 2 bulan, pesertanya boleh lari di mana saja, kapan saja, terserah mau berapa kilometer dan berapa jam, asalkan menggunakan aplikasi running tracker yang ditentukan. Pemenangnya adalah peserta, yang menurut catatan aplikasi itu, telah berlari paling jauh atau paling banyak kilometernya.
Kelihatannya mudah, toh, saya memang rutin berlari hampir setiap hari. Jadi sekalian lari, sekalian ikut lomba, siapa tahu menang. Saya pun ikut dengan mantap dan penuh harap.
Kilometer demi kilometer pun saya kumpulkan dengan semangat. Mulanya biasa saja, berlari sesuai kebiasaan saya sebelumnya, 5 – 10 km per hari. Rupanya, saya satu-satunya peserta yang punya waktu rutin berlari. Maklum, saya seorang ibu rumah tangga, jadi setelah anak-anak berangkat sekolah, saya punya waktu banyak untuk lari. Sementara, peserta lain harus sibuk bekerja atau kuliah di pagi hari. Dalam satu dua minggu saja, saya sudah bertengger di posisi dua besar :D
Ternyata, hal ini memacu peserta lain untuk aktif dan lebih giat berlari. Wah, sekali lari mereka bisa mencapai 20 km! Luar biasa! Saya belum pernah berlari sejauh itu. Hanya 12 km, catatan terjauh saya. Maka, persaingan sebetulnya pun dimulai …
Bukan mereka saja yang lebih giat, saya juga. Saya mulai melakukan double running, lari pagi dan sore, dengan target 20 km per hari. Kadang target tercapai tapi lebih sering tidak tercapai. Karena memang tidak mudah sama sekali. Kaki saya lelah. Dan pekerjaan dapur serta bersih-bersih rumah membuat kaki saya kelelahan. Setiap hari saya minta anak saya memijat kaki saya. Enak sih tapi tetap saja pegal-pegal. Setiap bangun tidur dan kaki mulai menapak lantai, duh, sakitnya.
Meski begitu, saya tetap berlari sebisa saya. Saya pikir, rasa sakit juga akan hilang dengan sendirinya seiring kaki saya terbiasa dengan beban barunya. Bahkan, pada hari ulang tahun saya, saya bisa berlari 20 km tanpa henti untuk pertama kalinya. Bukan hanya untuk mengumpulkan kilometer tapi terutama sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas tubuh yang sehat dan hidup saya selama ini.
Yang menarik, kebiasaan saya ‘gila lari’ pagi sore rupanya menarik perhatian para tetangga. Ada yang menyatakan kekaguman atas kerajinan saya. Ada yang menasihati supaya jangan terlalu lama berlari karena tidak baik untuk kaki mengingat umur saya sudah 37 tahun. Ada anak perempuan yang dengan polosnya bertanya mengapa ibu-ibu seperti saya berlari. Sepertinya, dia tidak pernah melihat ibunya atau ibu teman-temannya berlari. Semua saya jawab sambil tersenyum. Yang paling berarti adalah beberapa ibu menyatakan keinginan mereka untuk ikut berlari. Mereka sadar bahwa mereka perlu berolah raga dan melihat saya berlari sungguh menginspirasi mereka untuk melakukan hal yang sama. Dan mereka memang mulai berlari. Sampai sekarang, saya masih suka bertemu satu atau dua orang ibu yang berlari di pagi hari. Kami saling menyapa dan menyemangati. Sungguh senang rasanya ketika apa yang kita lakukan, disengaja atau tidak, ternyata menginspirasi orang lain.
Sayangnya, kaki saya tidak juga membaik bahkan sempat terkilir. Rupanya, penambahan porsi dan jadwal lari terlalu membebani kaki saya. Sementara persaingan lomba bertambah ketat. Saya mulai memikirkan apakah saya harus tetap ikut lomba atau keluar. Ketika lari bukan lagi menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan apalagi menyehatkan, saya rasa saya harus berhenti. Saya tidak mau kaki saya rusak permanen karena kelebihan beban.
Saya pun keluar dari lomba. Gampang sekali, tinggal klik ‘Leave’ dalam aplikasi itu maka saya pun otomatis keluar dari lomba. Saya memang menyerah dalam lomba itu tapi saya tetap seorang pelari. Karena bagi saya, seorang pelari adalah dia yang menetapkan target dan mulai berlari, menentukan target berikutnya lalu berlari lagi, target, lari, target, lari, dan begitu terus. Tetap berlari. Tidak peduli berapa kilometer jarak larinya, berapa jam waktu tempuhnya, ataupun berapa banyak lomba lari yang sudah diikutinya.
Sampai sekarang saya tetap berlari dan target berikut saya adalah berlari sejauh 42,195 km atau marathon sebelum tahun ini berakhir. Ayo, lari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H