Mohon tunggu...
Hanni A
Hanni A Mohon Tunggu... -

Tetapkan target, tetap berlari, dan jangan berhenti! Set the target, keep running, and never quit!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jika Kartini Hidup Kembali di Zaman Ini

21 April 2015   07:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:51 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_379423" align="aligncenter" width="600" caption="Kartini"][/caption]

Apa yang kita tahu tentang Kartini? Tanggal lahir dan tempat lahirnya.

Lalu, apa lagi? Emansipasi wanita! Ya, Kartini memang berusaha membebaskan kaum wanita di daerahnya dari kebodohan.

Oh, lomba busana adat. Ya, tentu saja. Hampir setiap kali hari Kartini, sekolah anak saya selalu merayakannya dengan mengadakan perlombaan busana adat. Anak yang tampil paling cantik dan berani menjadi pemenangnya. Saya pernah menanyakan alasan diadakannya perlombaan itu kepada kepala sekolah sebuah taman kanak-kanak swasta. Untuk melatih keberanian anak, begitu alasannya. Kalau untuk melatih keberanian anak, kenapa lombanya hanya itu, bukankah keberanian bisa dilatih lewat lomba bercerita tentang Kartini, atau lomba bercerita tentang apa yang akan kita lakukan jika kita sudah besar, atau aktifitas lain yang bisa diikuti semua siswa? Dia diam saja dan tetap hanya melaksanakan lomba busana adat.

Kembali lagi ke apa yang kita tahu tentang Kartini … Judul bukunya. Bagus tapi pernahkah kita membaca salah satu surat Kartini dalam buku itu? Tidak? Kenapa? Ya mungkin itu tadi, guru dan murid terlalu sibuk dengan lomba busana adat.

Kartini  hidup lebih dari 100 tahun yang lalu. Kita hidup di zaman serba cepat. Bahkan untuk menghubungi teman yang berjarak 10.000 km jauhnya pun, kita hanya perlu mengetik pesan di smartphone dan dalam hitungan detik, pesan kita  sudah sampai, bahkan dibalas. Tapi berapa banyak surat dengan bahasa yang indah dan isi yang tulus telah kita tulis untuk teman kita? Ni menulis begitu banyak surat dan artikel, dalam bahasa asing pula. Surat-suratnya begitu enak dibaca dan penuh perasaan, membacanya seolah-olah seperti mendengarkan seorang teman bercerita. Semangatnya, mimpinya, kesedihannya, ketidaksukaannya, pemberontakannya, pengertiannya, dan kegundahannya, semua bisa kita rasakan.

Jangankan menulis surat, coba perhatikan bagaimana bahasa dalam pesan pendek kita? Sangat singkat! Cukup mengetik ‘y’ atau ‘ok’ untuk menyatakan persetujuan kita. Atau kalau mau lebih ringkas lagi, ya tidak perlu dijawab. Atau  jika kita tidak suka dengan pesan teman kita, tinggal hapus pesannya dan ‘unfriend’ orangnya!

Bukan hanya pesan kita yang cepat sampai, kalau kita mau, pergi ke Eropa atau Amerika pun bisa dalam hitungan jam. Dulu, Ni memimpikan pergi ke Eropa untuk belajar sebebas-bebasnya dan kemudian kembali lagi untuk membagikan ilmunya.

Kita pun bermimpi ke Eropa atau Korea atau yang dekat, ke Singapore dan bekerja dari pagi sampai malam, mengumpulkan uang, sebanyak dan semudah mungkin. Dengan ikut program bantu membantu online, mungkin? Uang belum terkumpul pun kita sudah berangkat ke negri impian untuk pelesir, kuliner, dan ‘selfie’ sepuasnya. Pulang membawa tagihan kartu kredit dan hmmm … tidak lupa, ratusan foto untuk dibagikan di media sosial, entah apa gunanya bagi teman-teman kita.

Keinginan Ni ke Eropa tak terkabul tapi dia tak pernah patah semangat. Ni tetap semangat belajar demi mengajar orang lain. Dia membaca banyak buku, koran, majalah, dan berdiskusi dengan banyak orang Belanda yang terpelajar. Ni, yang senang membaca buku dalam  bahasa aslinya, mempelajari beberapa bahasa seperti bahasa Melayu, bahasa Belanda, bahasa Perancis, dan bahasa Jerman. Bahkan Ni mampu berkomunikasi lisan dan tulisan dalam bahasa Belanda.  Dengan segala kemudahan kita untuk belajar online lewat internet, berapa banyak bahasa asing yang kita kuasai? Satu? Benar-benar menguasai? Saya sangsi.

Berbagai buku tersedia di internet, tapi berapa banyak buku bermutu yang kita baca? Pernahkah kita membaca Max Havelaar? Kartini sangat menyukai novel karya Multatuli yang mengambil latar belakang pendudukan Belanda di daerah Lebak.  Kita bahkan belum pernah menonton filmnya padahal tersedia gratis di internet. Tapi jangan tanya apakah kita sudah nonton film terbaru Hollywood. Bayar pun mau. Film yang menggambarkan sejarah bangsa kita malah tidak ditonton. Sepertinya ada yang salah dengan cara kita mengajar sejarah kepada murid-murid di sekolah.

Ni lebih suka bekerja keras bahkan jika perlu melakukan pekerjaan sederhana asalkan bisa bebas dan membebaskan kaumnya. Dia sadar betul keadaan rakyat sekelilingnya yang bodoh dan karenanya mudah sekali diperalat penjajah. Menurutnya, adalah tanggung jawab moral bagi orang yang berpendidikan tinggi  untuk menolong orang yang kurang beruntung. Bagaimana dengan kita? Apakah kita bekerja keras? Untuk apa? Semua kerja kita hanya untuk uang dan kepuasan sendiri, mana ada memikirkan bangsa dan negara. Lihat betapa mudahnya sistem money game masuk ke dalam masyarakat kita. Sungguh menyedihkan jika konsep kerja bagi kita adalah mencari uang sebanyak mungkin dengan cara semudah mungkin. Kita hanya tahu memuaskan diri sendiri.

Kartini pernah menulis bahwa bukan  penjajah yang memberatkan langkahnya melainkan bangsa sendiri. Ni ingin memajukan kaum perempuan tapi sebagian perempuan malah tidak peduli untuk mengubah nasibnya. Belum lagi para orang tua yang ketakutan dan tidak mengerti untuk apa menyekolahkan anak perempuannya. Sekarang pun sama, musuh terbesar bangsa kita untuk maju adalah diri kita sendiri.  Keegoisan, keserakahan, kemalasan,  ketidakpedulian akan  kemajuan bangsa. Yang peduli dan mau kerja untuk bangsa hanya sedikit, yang lain hanya mengkritik, atau lebih parah berusaha menjatuhkan karena kepentingan sendiri terhalang.

Jika saja Kartini kembali hidup di zaman ini. Mungkin dia pun menghela nafas dan berkata, sudah seratus tahun lebih, kok masih begini, sampai kapan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun