Kurikulum adalah jantung pendidikan. Ungkapan milik bapak Munandar (2017; dalam Rahayu, Restu, et al 2022) menunjukkan bahwa kurikulum adalah dasar dari terbentuknya kualitas pendidikan dalam suatu negara. Untuk membentuk kurikulum pun, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan secara matang, terlebih menyangkut kebermanfaatan dari kurikulum itu sendiri dalam jangka Panjang.
      Sejarah terbentuknya Kurikulum Merdeka berawal dari data Programme for International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan bahwa kurang lebih 70% pelajar Indonesia dengan kategori usia 15 tahun berada di bawah kompetisi minimum dalam memahami literasi membaca dan konsep matematika yang sederhana. Dalam penggunaan kurikulum 2013, ternyata masih belum ada peningkatan yang memuaskan dalam data PISA tersebut. Ditambah lagi, Covid-10 seolah 'menampar' pendidikan Indonesia sehingga memperparah learning loss dalam pendidikan. (pusatinformasi.guru.kemdikbud.go.id). Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (disingkat Kemendikbud Ristek), mengeluarkan kebijakan kurikulum baru yang didasari oleh fleksibilitas capaian satuan mata pelajaran untuk mengurangi learning loss pada pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini disebut sebagai "kurikulum darurat". Kurikulum darurat ini mulai diaplikasikan secara perlahan, lalu mulai berkembang menjadi Kurikulum Merdeka.
      Nah, Kurikulum Merdeka ini, awalnya hanya diimplementasikan oleh sebagian kecil sekolah yang sudah melalui tes tertentu. Sekolah penulis menjadi salah satu sekolah Menengah Atas yang terpilih di Kawasan DKI Jakarta. Perlu diketahui, Kurikulum Merdeka adalah kurikulum baru yang harus di adapatasi secara maksimal. Terlebih lagi, Bapak Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, memiliki tujuan yang diselipkan dengan nama Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila terdiri dari 6 elemen yang berkesinambungan satu dengan yang lainnya, ialah 1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) Berkebhinekaan Global, 3) Gotong Royong, 4) Mandiri, 5) Kreatif, 6) Bernalar Kritis. Keenam elemen ini tersusun atas sub elemen lainnya.Â
      Sebagai poin penting, Profil Pelajar Pancasila sangat diupayakan agar terimplementasikan dengan maksimal dan menyeluruh kepada siswa maupun guru dan staff pendidik. Karenanya, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) hadir untuk memastikan seluruh siswa telah memiliki 6 elemen yang ada pada Profil Pelajar Pancasila. Projek P5 sendiri di desain dengan ragam tema yang membuat peserta didik dapat mengeksplor sesuai sudut pandang siswa. Di sekolah penulis, diangkat tema tentang "Kearifan Budaya Lokal" yang menyasar kebada Budaya Betawi sebagai fokus pelaksanaan projek.Â
Dalam projek ini, para siswa sepakat untuk membuat prosesi pernikahan adat Betawi. Hal itu dipilih dengan alasan bahwa pernikahan adat Betawi sangat kental dengan adat, dan memiliki nilai makna yang selaras dengan 6 elemen Profil Pelajar Pancasila. Prosesi pernikahan adat Betawi juga memberikan pelajaran penting dalam melestarikan luhur budaya bangsa.
Dalam prakteknya, penulis bersama dengan siswa-siswi lainnya menyusun prosesi adat dari awal hingga akhir. Dimulai dari iring-iringan, palang pintu, penyambutan dengan tarian Sirih Kuning, pemberian seserahan, dan dilanjutkan dengan prosesi akad nikah, dan sungkem. Semua kegiatan ini didasari dengan enam elemen Profil Pelajar Pancasila, khususnya ada pada kreatif dan gotong royong. Para siswa diminta untuk mencari jalan keluar yang efektif dan fleksibel dengan menjalankan praktek nyata bersama. Oh iya, kegiatan ini juga melalui pendampingan dari para guru agar memiliki praktek yang sukses
      Bagi penulis, hal yang paling berkesan adalah ketika melihat seserahan Betawi yang sangat banyak dan beragam. Tiap-tiap seserahan mengandung makna sendiri, seperti roti buaya yang melambangkan kesetiaan, dodol melambangkan
Hubungan yang awet dan merekat erat, lalu ada pula alat sholat yang bermakna bahwa pernikahan didasari dengan doa dan diharapkan hubungan pengantin selalu berada pada lindungan dan naungan Yang Maha Kuasa. Ragam jenis makanan ini menunjukkan bahwa budaya Betawi ternyata menyimpan banyak 'harta karun' yang sebelumnya tidak diketahui atau mungkin terdengar asing bagi masyarakat. Hal menarik lainnya ada pada baju pengantin. Baju pengantin pun disesuaikan dengan adat Betawi, dimana kedua siswa yang berperan sebagai pengantin memakai pakaian hasil akulturasi budaya Arab dan Tionghoa. Konon, banyak orang Arab dan orang Tionghoa yang menetap dalam lingkup budaya Betawi. Pakaian yang berwarna merah dan emas dan (umumnya) bercorak naga atau burung phoenix yang melambangkan kebahagiaan.Â
      Bagi penulis, Kurikulum Merdeka dapat diakui cukup baik untuk memperbaiki kondisi pendidikan bangsa. Terlebih, makna kuat dari 6 elemen Profil Pelajar Pancasila dan filosofi tiap elemen diteguhkan kembali dalam program P5, membuat penulis percaya bahwa Kurikulum Merdeka dapat dijadikan acuan untuk mengejar learning loss dan menaikkan peringkat PISA negara Indonesia. Namun, pengertian dari Kurikulum Merdeka sendiri sering disalahartikan dan menimbulkan misunderstanding baik dari pihak guru, siswa, bahkan keluarga dan masyarakat. Bahkan penulis sering mendengar bagaimana Kurikulum Merdeka dibanding-bandingkan dengan kurikulum yang lama.Â
      Pada dasarnya, Kurikulum Merdeka menjadi buah hasil dari konsep kurikulum lama yang dibuat lebih kompleks namun fleksibel dan juga dapat digunakan secepatnya tanpa mengurangi bobot pembelajaran. Tetapi, dari sisi penulis, Kurikulum Merdeka terlampau kompleks dan sosialisasi yang diberikan pun masih kurang maksimal sehingga banyak poin yang belum dipahami oleh banyak orang. Bahkan, penulis sempat 'kehilangan arah' karena inti dari Kurikulum Merdeka ini masih terasa abu-abu.Â
      Semua butuh proses. Penulis percaya, proses dari perubahan Kurikulum ini tidaklah muda. Berangkat dari situasi darurat, pandemi, dan terpuruknya kondisi negeri, membuat Kemendikbud Ristek harus secepatnya 'putar otak' agar bisa menemukan suaka dari permasalahan tersebut. Penulis pun yakin, saat ini Kemendikbud Ristek sedang mengevaluasi dan mempersiapkan strategi baru dalam memaksimalkan tujuan dari Kurikulum Merdeka. Harapannya, Kurikulum Merdeka tetap dapat menyisipkan pengenalan akan budaya Indonesia yang lebih beragam sehingga wawasan kultural siswa dapat terbuka luas dan memahami seluk beluk kekayaan Indonesia. Di Hari Pendidikan ini diharapkan, cita-cita Ki Hajar Dewantara dapat menjadi sumbangan energi bagi tiap-tiap pendidik maupun peserta didik, dan juga staff Pendidikan negara agar dapat membenahi pendidikan negeri, mencetak generasi muda yang cerdas, berkarakter Profil Pelajar Pancasila dan dapat mewujudkan semarak merdeka belajar yang lebih maksimal. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H