Mohon tunggu...
Hanna Mazaya
Hanna Mazaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Writing has been something i did to escape reality, but now i'm trying to link it into reality.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Queer, Soal Menjadi yang Dipinggirkan

28 Maret 2022   18:13 Diperbarui: 7 April 2022   07:40 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Normal is boring."

Kutipan sejenis itu bisa kita saksikan di mana-mana, sablon kaus, film, lagu, atau mungkin cuitan di Twitter dengan beribu retweet. Normal itu membosankan, ucap seseorang, dan orang lain mengamininya. Namun, apakah benar pernyataan itu, ketika banyak hal-hal yang di luar normal akan diasingkan, ditekan, atau justru sama sekali tidak dipedulikan? Bukankah kenormalan pada hakikatnya menjadi dambaan semua orang?

Nyatanya, memang ada orang-orang yang mendobrak kenormalan dan kenormatifan, terutama berkaitan dengan aturan seks dan gender, yang dikenal dengan sebutan queer. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum menyerap atau memiliki padanan untuk istilah queer, tetapi istilah ini barangkali mulai dikenal akibat perdebatan pro-kontra yang tak habis-habis mengenai LGBT dalam konteks lokal. Seringkali para aktivis atau warganet di media sosial menggunakannya. Queer mungkin juga dikenal karena hadirnya teori postmodern bernama Teori Queer, yang di dalam sejarah perkembangannya, tentu masih berkaitan dengan istilah queer dalam bahasa Inggris yang awalnya digunakan untuk mencemooh laki-laki feminim, homoseksual, dan trans, sampai akhirnya diklaim kembali menjadi identitas. 

"Being queer is not about a right to privacy; it is about the freedom to be public, to just be who we are. It means everyday fighting oppression; homophobia, racism, misogyny, the bigotry of religious hypocrites and our own self hatred. (...) Being queer means leading a different sort of life. It's not about the mainstream, profit-margins, patriotism, patriarchy or being assimilated. It's not about executive directors, privilege, and elitism. It's about being on the margins, defining ourselves; it's about gender-fuck and secrets, what's beneath the belt and deep inside the heart; it's about the night." (Queer Read This, 1990)


Kutipan di atas diambil dari brosur bertajuk Queer Read This yang ditulis secara anonim, dan disebarkan pertama kali pada New York Gay Pride Parade, Juli 1990. Melalui brosur tersebut, kita dapat melihat esensi dari queer--- tentang kebebasan menjalani kehidupan yang berbeda, bukan mencari keistimewaan atau menjadi elite, tapi justru mendefinisikan identitas sebagai yang dipinggirkan, dan melawan ketidakadilan serta kebencian dari luar, maupun dari dalam diri sendiri. Lebih lanjut, dengan meminjam penjelasan dari aktivis Dede Oetomo, apa yang disebut dengan queer ini bervariasi. Tergantung kehendak pemakainya, queer dapat mencakup orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT, juga dapat mencakup orang-orang genderqueer, aseksual, panseksual, dan orientasi seksual lainnya, bahkan heteroseksual bergender normatif atau straight yang ekspresi gender, orientasi, atau aktivitas seksualnya menempatkan mereka di luar arus utama.

"Di luar arus utama" perlu kita garis bawahi karena bersinonim dengan yang 'pinggir'. Jika ada sesuatu yang di luar arus, apa yang menjadi 'arus' nya? Ketika berbicara tentang queer, kita boleh menyebut hetero normativitas sebagai 'lawannya'. Motschenbacher (2018), seorang linguis yang juga berkontribusi terhadap perkembangan teori queer, mendefinisikan heteronormatif/hetero normativitas sebagai tekanan yang diproduksi secara diskursif, yang mengharuskan setiap orang menempatkan dirinya dalam posisi yang berkaitan (dengan bentuk heteroseksualitas tertentu) dalam kehidupan sehari-hari. Adapun, bentuk heteroseksualitas yang dimaksud oleh adalah batasan yang kaku tentang biner gender perempuan dan laki-laki, serta peran keduanya yang bertolak belakang namun saling melengkapi, yang kemudian difungsikan sebagai norma.

Barangkali sampai di sini, queer masih sebatas teori yang mengawang-awang, tak terasa dekat di Indonesia, kebarat-baratan. Padahal queer dan cara pikirnya, nyatanya lebih dekat dari yang kita bayangkan, karena hetero normativitas tidak hanya berdampak pada LGBT yang masih jadi topik tabu di Indonesia, tetapi juga seperti yang telah disebutkan sebelumnya, heteroseksual bergender normatif yang pilihan hidupnya masih di luar arus mainstream. Misalnya, pasangan hetero yang memilih untuk child free atau tidak memiliki anak, perempuan yang memilih untuk tidak menikah, lelaki yang memilih untuk menggunakan riasan baik itu untuk keperluan acara ataupun tidak. Oleh masyarakat heteronormatif, lelaki yang menggunakan riasan, terlepas dari apapun orientasi seksualnya, biasanya akan dikotakan ke dalam satu label--- bencong, dengan konotasi merendahkan. Pembuktiannya tak perlu jauh-jauh, bisa dilihat pada ujaran kebencian yang ditulis oleh orang awam kepada idola K-pop. Perempuan yang memilih untuk tidak menikah? Diejek perawan tua. 

Contoh lainnya, ketika perayaan hari lansia, dalam poster-poster yang tersebar mayoritas digambarkan sepasang kakek dan nenek. Hanya gambar salah satu kakek atau nenek saja sulit ditemukan, apalagi kakek dengan kakek, atau nenek dengan nenek. Jadi seolah-olah, pasangan kakek nenek yang berkeluarga itu menjadi opsi satu-satunya yang ada. Oleh karena itu, bisa dibilang, heteronormatif mengidolakan dunia yang terdiri dari biner tertentu seperti laki-laki maskulin dominan dan perempuan feminim submisif serta hubungan pernikahan dan proses reproduksi yang terjadi di antaranya, kemudian menjadikannya sebuah norma atau aturan yang 'pakem' yang sewaktu-waktu bersifat represif. Ini dapat terwujud dalam bentuk yang sistem yang melembaga, maupun perilaku dan perkataan sehari-hari yang tidak kita sadari.  

Perlu ditekankan pula, bukan berarti hubungan heteroseksual yang seperti pada umumnya, juga gender yang biner (perempuan dan laki-laki), ataupun label seksualitas yang dipakai orang lain itu merupakan hal yang buruk, karena jika seseorang membenci kedua hal itu, lantas apa bedanya dengan heteronormatif? Justru pandangan seperti itu cenderung tergolong ke dalam homonasionalisme yang membentuk sebuah normativitas baru, yang tidak inklusif dan rentan ignorant. Queer pada akhirnya hanya menyediakan ruang bagi yang tidak nyaman dikotak-kotakan seperti itu, biarlah menjadi yang 'dipinggirkan' dan 'tidak normal', memangnya kenapa? Ia lebih nyaman berada di dalam keabu-abuan, di antara yang hitam dan putih, menjadi jalan lain dari yang selama ini menampakkan diri sebagai satu jalan lurus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun