Kategori golongan ini sudah pasti Saya termasuk didalamnya. Orang biasa itu common people, khalayak umum, massif jumlahnya, dalam piramida segmentasi ada di level paling bawah. Cenderung tersubordinasi secara sosial dan ekonomi bahkan politik. Karena hanya menjadi istimewa ketika musim kampanye tiba. Kesehariannya hanya menjadi penonton dari drama dan pentas panggung opera bernama Indonesia.
Seratus delapan puluh derajat posisi berbalik Kita mendengar sapaan Juragan, Lord of bla..bla.., King of bla..bla.., Sultan, serta Crazy Rich kepada beberapa orang “terpilih”. Entah sejak kapan istilah-istilah tersebut menjadi populer sebagai penyematan status dan simbolitas dalam menempatkan posisi seseorang. Walapun status dan simbol merupakan sebuah konstruksi sosial yang harusnya terbangun secara default dan alami namun justru banyak orang yang seperti mengejar-ngejar penyematan tersebut dengan sengaja.
Ya, dengan sengaja, karena prosesnya berusaha dipertontonkan dan diekspose sedemikian mungkin melalui kanal-kanal sosial media apapun itu namanya. Stereotipe berperilakunya macam sebar uang, bagi-bagi ponsel, menunjukkan saldo rekening secara live, membeli kendaraan mewah secara tunai, tour open house rumah mewah, menggunakan pakaian atau setelan mahal untuk kemudian di taksir value-nya secara rupiah, liburan ke luar negeri dan lain sebagainya. Aktivitas seperti ini diistilahkan sebagai flexing yakni, fenomena ketika individu mengekspose (memamerkan) harta dan aset miliknya dan bebas untuk disaksikan oleh siapa saja. Dari proses berkegiatan seperti itu kemudian julukan-julukan ala Sultan mulai disandang.
Nama-nama yang dimaksud dan muncul di masyarakat sebenarnya menunjukkan sosok yang itu-itu saja. Media menggambarkan bahwa para Sultan tersebut sebagai sosok from nothing to something. Seolah-olah mereka telah memberi kontribusi dan jasa bagi negeri ini. Satu hal yang perlu Kita cermati dari fenomena ini adalah kemewahan yang dibanggakan tersebut adalah samaran.
Poverty Scream but Wealth Whispers
Tahukah Anda bahwasanya karakter dasar dari “orang miskin” adalah berteriak. Orang miskin cenderung fatalistik menyalahkan semesta atas kondisinya. Mereka akan dengan mudah mengkambinghitamkan sesuatu hal kepada selalu yang diluar diri mereka. Orang miskin layaknya Hyena, datang bergerombol namun akan sendiri-sendiri dan tak mau berbagi ketika sudah mendapatkan keinginannya. Orang miskin berusaha mencari hal-hal yang sekiranya dapat memusnahkan kemiskinan mereka, entah itu lewat proses kerja keras atau sebaliknya secara instan.Ketika instanitas yang dipilih dan digabung dengan drama-drama pencapaian materi maka timbullah flexing. Orang-orang ini ingin menunjukkan betapa tajir dan kerennya mereka. Akibatnya semua pemeran Sultan tersebut saling berlomba dan memaksakan diri untuk terus menerus menunjukkan kekayaan ke orang lain.
Minggu-minggu ini masih hangat informasi bahwa sekian jumlah dari para Sultan tersebut mendapatkan kekayaan lewat aplikasi trading abal-abal nan ilegal. Kita harus sadar bahwa apa yang dilakukan Sultan lancung itu sebenarnya sekadar penerapan strategi marketing untuk membangun kepercayaan dan memperlihatkan pada khayalak sehingga mau mengikuti media sosialnya, me-utilisasi aplikasi produknya dan pada akhirnya membeli produk jualannya. Selama Anda masih menjadi viewer dari ke-sultanan mereka maka Anda sebenarnya telah terdominasi dan kalah secara struktural. Sehingga rangkaiannya terjalin jelas bahwa pamer kekayaan yang terjadi saat ini merupakan refleksi dari sebuah akar kemiskinan yang hakiki
Sedangkan kaya itu ibarat seperti ilmu padi, semakin kaya seseorang maka akan semakin eksklusif dan banyak menuntut privasi. Tengoklah kabar konglomerat di negeri ini. Cenderung tiada warta dari mereka. Bahkan sebisa mungkin publik tidak mengetahui jumlah aset dan kekayaan milik mereka. Tentu selain menghindari kejaran petugas pajak, hal itu mereka lakukan karena menjadi kaya itu juga mengajarkan sebuah fatsoen atau etika menjadi orang kaya. Ketika orang kaya membeli rumah mewah misalnya, hal itu memang mereka lakukan karena demi melindungi dirinya serta memberikan standar comfort dan kualitas kehidupan yang terbaik untuk keluarganya tanpa perlu diobral melalui tontonan. Tentunya comfort dan kuaitas terbaik paralel dengan biaya yang tidak sedikit alias mahal.
Sosok kaya biasanya malu dalam membicarakan kekayaannya (apalagi memamerkannya). Mark Zuckerberg sebagai salah satu orang terkaya dunia pun Kita tahu kesehariannya hanya menggunakan kaos abu-abu dan jeans biru seperti orang biasa. Bahkan ada kisah dari Profesor Rhenald Khasali yang selalu grogi dengan orang yang berada disamping kanan atau kirinya ketika didalam pesawat, karena menurut beliau jika orang tersebut semakin sederhana maka bisa diduga dia adalah seorang yang kaya. Kesimpulannya kaya itu cenderung berbisik, sunyi, hening, sepi dan minimalis.
Dan itulah riwayat dari hidup zaman kini, yang tak henti menghadirkan hal-hal yang membalik-balikkan keadaan. Semua ini terjadi karena Kita tidak mau, Kita jarang, Kita tidak banyak mendengar kisah dan cerita dari “orang biasa”. Tukang Becak, Mbok Jamu, Penyapu Jalan, Petugas Kebersihan, Pengamen, Kuli Panggul, Abang Ojol, hingga Manusia Silver. Kita lebih menyukai diri Kita terjebak dalam lamunan kebendaan dan hedonistik yang mengelilingi Kita melalui media dan modernitasnya, entah itu benar realita atau bukan Kita seolah tak peduli. Saat ini Kita seperti enggan untuk melihat realitas di samping dan sekitar Kita sendiri. Karena kenyataan-kenyataan di dalam dekapan Kita ternyata terlalu biasa, stagnan dan datar sehingga Kita mencari penghiburannya melalui kemewahan yang artifisial.