Kebodohan terpancar sangat dari diri. Hanya menjadi penonton dari keriuhan gegap pandemi sejagad. Wajah bebal yang terlihat sebagai respon atas kondisi dunia kekinian. Kesadaran yang terlambat datang namun tiba menyeruak menyentak nurani dan hati ketika orang-orang terkasih dalam ekosistem diri berkabar memberi salam terakhir.
Dalam malam pengujung tidur sempat Ku bertanya pada-Nya? Mengapa orang-orang baik terkadang sungguh cepat Engkau panggil. Dalam mimpi Beliau memberi jawab. "Datanglah ke toko bangunan untuk mencari kayu dan besi maka kelak kan terpilih kayu-kayu dan besi-besi yang baik dan lurus. Demikian pula Aku, kan Ku pilih umat-umat yang baik dan lurus untuk menemani di sisi Ku layaknya doa Kalian kepada mereka".
Pagi menjelang namun wajah pandir tetap menyelimuti diri. Sepertinya matahari pagi memberi petunjuk bahwasanya Aku masihlah bukan golongan yang baik nan lurus tersebut. Ah tentu saja jawabku. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Pagebluk itu bernama Covid19. Semesta dilanda kebingungan. Gegar diri atau kekagetan psikologi diamini terasa bagi semua sehingga orang-orang pandai menjadi terlihat seperti tidak sebagaimana mestinya. Dunia dipenuhi dengan lalu lintas raungan narasi dan opini dalam diskursus yang tanpa menyelesaikan masalah karena permasalahan yang dihadapi merupakan pengalaman pertama untuk semua manusia.
Yang tak tersadari adalah Kita sudah cukup lama berdiri di tengah-tengah pagebluk itu. Kelaliman, keserakahan, korupsi, kesewenangan merajalela. Masa penuh penderitaan. Masa orang-orang licik yang picik berkuasa, dan orang-orang baik terfanakan. Covid19 hanya menjadi petanda titik puncak yang membuka mata. Kearifan lokal yang pudar membuat Kita terbutakan akan pagebluk yang hakikatnya sudah membangun tatanannya sedemikian rupa.
Jika Jayabaya sang Raja Kediri pernah menahbiskan Kalabendu, apakah iya ini yang dimaksud? Jika kala berarti waktu atau zaman dan bendu adalah sengsara atau sulit. Maka kalabendu bermakna zaman sulit atau sengsara. Merasionalisasi hati melalui pikiran dengan memahami pagebluk sebagai semiotika jaman, orang modern mampu merumuskan itu sebagai VUCA (Volatility/bergejolak, Uncertainty/tidak pasti, Complexity/kompleks and Ambiguity/tidak jelas). Cukup Kita membacanya sebagai satu fenomena yang terjadi sebagai bentuk sekaligus simbolisasi teguran bagi umat manusia agar menyeimbangkan kembali elemen-elemen dalam kehidupan, baik itu hubungan antar sesama manusia hubungan manusia dengan alam maupun hubungan manusia dengan sang Khalik.
Entah sampai kapan kisah ini mendapatkan episode akhirnya. Apakah Kita masih menunggu pesan-pesan mesiah dari pagebluk ini? Apakah masih dibutuhkan cerita puncak yang membutuhkan tangisan dan kesedihan yang lebih dalam? Jika iya, mari Kita bersiap untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H