Mohon tunggu...
Dimas Putut Marsanto
Dimas Putut Marsanto Mohon Tunggu... Sales - Abdi Kehidupan

Peminat dan Penikmat Sastra, Budaya, Film, Arsitektur dan Perencanaan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kota Tua Surabaya dan Diaspora Tionghoa

31 Maret 2021   07:43 Diperbarui: 23 Juli 2021   11:25 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Diluar pro kontra mengenai revitalisasi Kota Tua yang terwacana oleh Pemerintah Kota Surabaya seperti yang ada di Jalan Karet maupun Jalan Panggung oleh Kota Surabaya tentu Kita selayaknya mengapresiasi usaha yang dilakukan. Memang sudah sepatutnya wilayah tersebut mendapat perlakuan khusus agar kesan tak terawat sirna.

Jika Kita telusuri cakupan Kota Tua di Surabaya yang meliputi dari Wilayah Utara Surabaya diantaranya kawasan Kembang Jepun dan Jembatan Merah terus ke Selatan mulai dari Jalan Veteran hingga Jalan Pahlawan. Karena aktivitas masyarakat Tionghoa yang menetap pada saat itu mayoritas adalah berdagang maka wilayah tersebut pada masanya sudah mendapat julukan sebagai kawasan perniagaan.

Gelombang migrasi dari negeri Cina yang tak terencana dan sporadis serta keinginan untuk merubah nasib banyak mendorong warga tionghoa untuk pergi keluar dari wilayahnya secara masif termasuk ke Nusantara. Aktivitas komunitas tionghoa di banyak tempat di Nusantara tergolong berhimpun dalam satu kawasan tertentu. Dimana hal ini juga akibat dari kebijakan diskriminatif pemerintah Hindia Belanda. Pada saat itu orang-orang tionghoa dilarang untuk menghilangkan beberapa ciri khas dan tanda fisik yang melekat termasuk kuncir di rambut belakang. Bagi orang tionghoa yang ketahuan menghilangkan tanda-tanda fisik tersebut akan dikenakan hukuman oleh pihak berwenang. Pemerintahan Hindia Belanda saat itu juga memberlakukan peraturan Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Wijkenstelsel  merupakan pemusatan pemukiman masyarakat tionghoa sementara Passenstelsel berupa kartu identitas khusus.

Aturan-aturan pemerintah Hinda Belanda itu secara tidak langsung mengatur sistem kehidupan masyarakata tionghoa dalam beberapa segi kehidupan seperti pembatasan kepemilikan tanah, aktivitas ekonomi yang ditentukan dan lokalisasi kediaman. Adanya aturan ini menggiring jumlah orang-orang tionghoa yang hidup di pedesaan menjadi berkurang sebab mereka pindah ke kota-kota besar dimana pemusatan hunian bagi masyarakat tionghoa terletak (Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya 2010). 

Di wilayah-wilayah tempat komunitas tionghoa berkumpul justru menjadikan mereka ekslusif dan berjarak dengan masyarakat lokal, pun pemerintahan pada saat itu seringkali menerapkan politik adu-domba antara Tionghoa dengan Bumiputera sehingga seringkali terjadi keterbelahan di antara kedua nya melewati batas-batas generasi hingga sekarang.Padahal dalam sejarah sebelum abad ke-16, pembauran antara penduduk setempat dengan masyarakat etnis tionghoa sudah terjadi dan harmonisasi sangat terasa. 

Banyak catatan-catatan dari bangsa Portugis, Inggris, Belanda dan China yang pernah menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara mengkonfirmasi hal itu. Beberapa catatan banyak orang tionghoa yang justru ikut berperang bersama pasukan Diponegoro dalam menghadapi Belanda.

Zona dimana komunitas tionghoa beraktivitas kerap dijuluki pecinan, sebuah kawasan perdagangan yang dipadati oleh warga tionghoa dengan segala budaya nya yang sangat kental. Wilayah kota tua Surabaya diperkirakan sudah menggeliat dalam aktivitas perniagaan sejak ± 200 tahun yang lalu. Pada masa itu, sama dengan seperti masa sekarang, pelaku dikuasai mayoritas oleh warga Tionghoa. Dalam konteks perekonomian, sejak zaman kolonial hingga sekarang keturunan tionghoa menduduki posisi sebagai perantara (middle status). 

Didi Kwartadana dalam “Indonesia, The Largest Country in The World with a Chinese Problem” pernah menjelaskan posisi etnis tionghoa dan keturunannya sebagai “minoritas perantara” (middlemen minorities) dan menduduki status perantara (middle status) di antara kelompok-kelompok yang eksisting (Didi Kwartadana, 2018 “Indonesia, The Largest Country in The World with a Chinese Problem”). Dengan posisi ke-etnis-an dan sosial berada di “antara” atau perantara maka tak heran berdagang adalah mata pencaharian utama. Dalam rantai ekonomi pedagang acapkali disebut sebagai ceruk perantara (intermediate niche) anatara pembeli dengan barang atau jasa.

Pola-pola kehidupan dan struktur sosial ekonomi seperti itu terus berulang antar generasi hingga roda waktu ikut menggiring mengintervensi perubahan-perubahan. Kekuatan kawasan pecinan dalam mengakomodir aktivitas perniagaan kalah oleh meningkatnya hilir mudik manusia, perputaran barang dan keinginan mengkapitalisasi usaha oleh para pedagang. 

Begitu juga dengan perkembangan kota yang tidak bisa menampung pertambahan penduduk yang cenderung eksesif. Secara kultural "pergeseran" semangat juang dan cita-cita antara generasi tionghoa lama dan penerusnya mengambil andil. Ada kecenderungan generasi muda tionghoa yang sekarang ini memilih menjadi pegawai/ karyawan di sebuah perusahaan dan bahkan terjun di politik tetimbang mengerjakan usaha seperti orang tuanya. Generasi muda tionghoa cenderung beratensi pada pendidikan bagi masa depan mereka sehingga implikasinya banyak yang kemudian memilih kerja tidak seperti pendahulunya           

Alhasil pecinan lambat laun menjadi pudar pesonanya dalam konteks pusat perniagaan termasuk mulai ditinggalkan oleh penghuni nya sebagai lokasi tempat tinggal. Interaksi antar manusia selama dalam proses perdagangan meleburkan nilai-nilai yang telah ditanamkan warisan pemerintah Belanda. Perjumpaan antar etnis memadukan budaya satu sama lain sehingga memicu keingginan untuk “keluar” dari zona asal. Interkulturalisasi merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dalam proses “manusia menjadi manusia”. 

Dalam perkembangannya kemudian muncul istilah Tionghoa Peranakan yang tak lain merupakan warga tionghoa keturunan (bukan tionghoa asli) hasil dari perkawinan campur baik dengan masyarakat lokal maupun dengan masyarakat etnis lainnya. Jejak-jejak itu mudah terendus lewat tinggalan arsitektur bangunan, tempat ibadah, kain batik dan lainnya. Dan disinilah justru keunikan dari proses asimilasi itu. Kini tinggal bagaimana Kita  mempertahankan hasil dari sejarah tersebut di era penuh dengan pejal nya informasi yang entah benar atau palsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun