Akhir-akhir ini terdapat sebuah istilah yang sedang ramai digunakan pada media sosial, yaitu “The Power of Netizens”. Istilah ini merujuk kepada dampak dan pengaruh kolektif yang dimiliki oleh para individu ketika mereka terkoneksi melalui jejaring internet, terutama platform media sosial dan komunitas daring. Terminologi “netizen” sendiri adalah gabungan dari kata “internet” dan “citizen (warga negara)” yang berarti warga negara yang aktif berpartisipasi atau terlibat dalam aktivitas daring sehingga memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab seperti warga negara secara fisik. Dengan melesatnya era digital sekarang, tak dapat dipungkiri lagi bahwa gerakan yang dilakukan oleh masyarakat lewat media sosial bisa memberikan dampak yang lebih kuat dari gerakan yang dilakukan secara fisik. Hal ini tentunya seperti pisau bermata dua, yakni memiliki manfaat dan bahayanya sendiri. Di satu sisi, satu cuitan di media sosial dapat berujung pada renovasi infrastruktur oleh pemerintah di suatu daerah. Namun, di sisi lain satu cuitan di media sosial juga dapat berujung pengambilan nyawa seseorang terhadap dirinya sendiri. Hal ini tergantung pada bagaimana cara kita menggunakan “kekuatan” sebagai netizen.
Dampak Hoaks dan Hate Speech Terhadap Fenomena Bunuh Diri Selebritas Korea Selatan
Korea Selatan adalah salah satu negara yang sejak beberapa tahun terakhir melesatkan industri hiburan mereka ke kancah internasional. Korea Selatan memasukkan budaya, nilai, dan pengaruh mereka ke dalam negara-negara lain lewat penjualan melalui drama, musik, serta acara-acara hiburannya, yang biasa dijuluki sebagai Korean-waves. Hal ini tentunya didorong oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat pada era digital. Seluruh orang dari berbagai belahan dunia dapat menikmati tayangan-tayangan selebritas dari Negeri Ginseng tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan dapat mengirimkan komentar serta reaksi secara langsung kepada mereka. Selain menguntungkan, hal ini nyatanya menjadi sesuatu yang mengerikan bagi para selebritas Korea Selatan. Sebab selain pujian, tentunya akan banyak kritik yang diberikan pada mereka, entah itu mengenai perilaku mereka, fisik mereka, bahkan sesuatu yang belum ada pembuktiannya, yaitu rumor mereka.
Dalam dunia digital yang memberikan akses seluas-luasnya bagi para masyarakat lintas batas, tentunya bagaimana cara kritik disampaikan tidak dapat dikendalikan. Sering kali kritik itu datang dalam bentuk menghina, mengumpat, bahkan menyumpahi. Kesehatan mental seseorang sangat dipertaruhkan dalam hal ini, apalagi jika yang diterima bukan lah sekadar ujaran kebencian dari satu-dua orang, melainkan puluhan ribu netizen. Dalam banyak kasus, hal ini berakhir dengan perenggutan nyawa sendiri, seperti idol Sulli, Kim Jonghyun, dan Moonbin. Fenomena yang terjadi di Korea Selatan ini membuktikan bagaimana “The Power of Netizens” memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap nyawa seseorang. Kendati demikian, masing-masing dari kita sebagai netizen yang harus menyadari hal tersebut dan meningkatkan literasi digital kita.
Peran Filsafat Ilmu dalam Menghadapi The Power of Netizens
Peningkatan dalam literasi digital semakin diperlukan seiring dengan pesatnya dan tak terbatasnya arus informasi di era digital ini. Penggunaan teknologi tanpa penanaman nilai-nilai yang baik sebagai pondasi dapat berdampak sangat krusial bahkan mempertaruhkan nyawa seseorang. Kekuatan para netizen dalam menggerakkan sesuatu memang sangat masif, tapi jangan sampai gerakan tersebut salah sasaran. Di sinilah peran besar Filsafat Ilmu kita perlukan untuk meningkatkan literasi digital. Filsafat Ilmu memiliki beberapa cabang, salah satunya akan kita gunakan untuk menanggapi fenomena The Power of Netizens ini, yaitu Aksiologi. Aksiologi Adalah cabang filsafat yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan. Landasan aksiologi berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. (Adib, 2010).
Tujuan dari aksiologi adalah menemukan kebenaran atas fakta yang ada dan bagaimana nilai gunanya terhadap hal-hal lain. Dalam korelasinya untuk mengendalikan The Power of Netizens, aksiologi dapat menjadi landasan kita baik sebagai penerima informasi maupun pemberi reaksi. Sebagai penerima informasi, aksiologi mengarahkan kita untuk menelaah lebih jauh nilai dan kegunaan dari suatu berita atau informasi, apakah suatu berita benar-benar menyajikan kenyataan atau berita palsu belaka? Apakah berita tersebut bermanfaat atau memiliki manfaat jika kita membagikannya ke lingkup yang lebih luas? Sedangkan sebagai pemberi reaksi, aksiologi menuntut kita untuk memastikan apakah hal yang akan kita tulis adalah fakta sesuai realita atau justru sebuah fitnah? Apakah hal yang kita tuliskan ini memiliki kegunaan untuk disampaikan atau sekadar untuk menjatuhkan? Hal ini akan membantu kita untuk mengendalikan diri sebagai netizen, agar kekuatan yang kita miliki dapat tersalurkan tepat sasaran untuk hal-hal baik dan bermanfaat bagi masyarakat umum.
Kesimpulan
Dalam era digital yang memberikan akses tak terbatas kepada masyarakat dan informasi yang dapat disebarluaskan hanya dalam hitungan detik, sangat rentan informasi palsu dan ujaran kebencian tersebar dan menjadi sesuatu yang dipercaya sebagai kebenaran oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi netizen untuk meningkatkan literasi digital mereka. Filsafat Ilmu memainkan peran di sini. Dengan memahami landasan aksiologis, masyarakat dapat lebih kritis dan teliti dengan berita yang mereka terima, juga semakin berhati-hati dengan apa yang mereka unggah pada media sosial. Sebab apa yang mereka unggah di media sosial memiliki kekuatan yang sangat besar. Sebuah nyawa bergantung pada jari yang mereka gunakan untuk mengetik. Berhati-hatilah, The Power of Netizens.
Adib, Mohammad. (2010). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Universitas Airlangga, 4 Juni 2023.