Mohon tunggu...
Humaniora

Menyibak Penegakan Hukum

6 Juni 2015   09:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika kita mendengar atau membaca kata “Hukum” muncul berbagai hal dalam benak kita, seperti keadilan, Polisi, pengadilan, aturan, sanksi, kriminal, atau bahkan mungkin penjara. Hukum merupakan aturan yang berlaku dalam masyarakat yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, yang bersifat mengikat dengan adanya sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya. Hukum berlaku untuk semua warga negara karena seharusnya hukum ditegakkan untuk semua kalangan baik lapisan masyarakat maupun pemerintahan yang didalamnya terdapat aparat penegak hukum itu sendiri. Hukum memang tidak lepas dari kehidupan manusia. Di mana ada masyarakat disitu ada hukum.

Sudah menjadi sifat pembawaan manusia bahwa ia memiliki hasrat yang bersifat individualistis, sehingga manusia menjadi makhluk individu. Namun juga mempunyai hasrat kolektivistis sehingga ia berkeinginan untuk hidup berkumpul, berhubungan dengan manusia lain membentuk kehidupan bersama, menghendaki ketertiban dan kedamaian. Salah satu tujuan dibentuknya hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat tersebut. Karena setiap individu pastilah memiliki kepentingan, sehingga untuk melindungi kepentingan tersebut dalam kehidupan sosial perlu adanya hukum agar tidak terjadi “bentrok” antarkepentingan yang dapat mengancam kepentingan itu. Namun sepanjang sejarah bangsa Indonesia, seringkali negara dan hukum yang dicita-citakan tidak berdaya untuk membantah, menahan bahkan mencegah arus kepentingan sebagian kelompok orang yang pada gilirannya mengorbankan hak-hak rakyat dan pada hakikatnya megorbankan misi suci hukum itu sendiri. Dalam pelaksanaan dan usaha penegakannya, hukum di Indonesia memiliki sumber-sumber sebagai tempat untuk mendapatkan hukum itu. Salah satunya adalah adanya Undang-Undang yang berisi aturan-aturan sebagai pedoman dalam penegakan hukum. Hukum bersifat otoriter, mengatasi masalah dengan tindakan otoriter pula. Karena adanya pengundangan peraturan tersebut berkonsekuensi mengikat semua warga negara untuk mengetahui peraturan-peraturan tersebut. Dalam fiksi hukum, semua orang dianggap tahu akan hukum. Sehingga ketidaktahuan akan peraturan atau hukum bukan dan tidak menjadi suatu alasan pemaaf (Ignorantia legis excusat neminem). Yang artinya dalam pelaksanaan sebuah sidang misalnya, orang yang melanggar hukum tidak dapat ngeles bahwa ia melanggar karena tidak tahu adanya aturan atau hukum yang ia langgar sehingga menyebabkan ia terjerat pasal yang bersangkutan dengan apa yang ia langgar atau bahkan pasal yang telah ia langgar itu sendiri.

Karena hukum telah dibentuk, hukum tersebut harus dilaksanakan dan ditegakkan. Soerjono Soekanto mendefinisikan penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejewantahkannya dalam sikap, tindakan sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keadaan penegakan hukum di negara kita sangat memprihatinkan. Kondisi hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Boleh dikatakan bahwa hukum adalah produk politik sehingga penegakannya cenderung dipolitisir.

Perjuangan untuk menegakkan hukum di negeri ini bukanlah hal yang mudah. Bagaimana tidak, salah satu kenyataan saat ini, para penegak hukumnya saja malah melindungi orang yang jelas bersalah melanggar hukum hanya karena ia memiliki kekuasaan. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigeit) dan keadilan (Gerechtigeit). Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Di Indonesia dalam penegakan hukum dengan memperhatikan ketiga unsur tersebut menunjukkan bahwa sangat diperlukan adanya perubahan. Baik secara sistem maupun kultural. Mengapa secara sistem karena fakta saat ini menggambarkan keadaan sistem hukum nasional yang morat-marit. Dan yang lebih krusial lagi adalah perubahan kultural. Yang dimaksud perubahan kultural disini yaitu perubahan sikap, tindakan, serta moral para penegak hukum. Karena selama ini masyarakat cenderung meniru apa yang dilakukan oleh para elite yang dianggap “paham” akan hukum. Jika pemerintahnya saja melakukan pelanggaran, masyarakat bisa beranggapan bahwa tidak masalah melakukan pelanggaran karena orang-orang yang menjadi panutannya saja bertindak demikian. Untuk itu setiap sikap, tindakan dan moral para penguasa perlu dan bahkan harus diperhatikan dan dipertimbangkan. Penegakan hukum akan lebih efektif jika dilakukan berurutan dari kalangan atas ke bawah, dan perlu adanya keharmonisan (keselarasan, keseimbangan dan keserasian) antara lembaga  penegak hukum dan masyarakat sipil atau warga negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun