Seperti yang kita ketahui, negara kita, Indonesia adalah negara Hukum. Dimana menurut teori adalah negara yang menjunjung tinggi keadilan melalui hukum. Hukum merupakan aturan yang berlaku dalam masyarakat yang bersifat mengikat dengan adanya sanksi yang tegas dan dibuat oleh lembaga yang berwenang. Di lapangan, mempraktekan teori memang bukan hal mudah. Seringkali realitas tak se-ideal teori.
Saat ini marak kasus-kasus hukum yang bisa dikatakan terdapat unsur “deskriminasi moralitas”. Kita tidak asing dengan ungkapan “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Kenyataan memanglah demikian. Inilah deskriminasi moralitas dalam hukum. Dimana banyak kasus yang menimpa “orang kecil” begitu getolnya dijerat pasal-pasal hukum. Namun bagaimana hukum itu berlaku untuk para elite? Fakta yang ada saat ini menunjukkan begitu jelas atas deskriminasi. Bagaimana tidak, ambil saja contoh kasus “rekening gendut” Budi Gunawan. Bagaimana kabarnya saat ini? Kita telah di-“PHP” terhadap kasus ini. Karena begitu saja hilang dari peradaban tanpa keadilan yang jelas. Bandingkan dengan kasus yang menimpa rakyat biasa, ambil contoh kasus nenek Asyani yang dijerat pasal pencurian, hanya karena beberapa potong kayu. Dalam kasus ini hukum ditata sedemikian rupa untuk menjerat nenek Asyani hingga ia sempat dijebloskan ke dalam kurungan jeruji. Sedangkan dengan BG? Hukum berbelit-belit diatur sedemikian rupa, sampai-sampai terlaksana sidang pra-peradilan. Dan apa hasilnya? Pasal demi pasal yang menjeratnya runtuh! Dengan alasan kurang akuratnya data-data untuk melanjutkan kasus ini.
Dari dua kasus tersebut sangatlah jelas perbandingan hukum yang berjalan untuk rakyat kecil dengan para elite atau penguasa. Pertanyaan krusial, dimana keadilan yang dicita-citakan dalam UUD 1945? Mengapa sulit sekali mencari keadilan bagi rakyat kecil? Kita sangat perlu menekankan hal ini pada pemerintah. Karena pemerintah atau lembaga yang berwenanglah yang mempunyai posisi penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Dan yang menjadi sorotan saat ini adalah adanya hukum yang bisa dibeli karena ketidaktegasan pemerintah. Tidak munafik kita tahu saat ini keadilan hukum dapat dibayar dengan uang maupun kekuasaan. Bagaimana dengan rakyat yang “dianggap” tahu hukum? Bukankah tujuan hukum itu mulia, yaitu untuk mencapai keadilan bagi semua rakyat tanpa pandang bulu?