Amazing! Kata itu yang terlintas dalam benak saya tatkala mendengar pertama kali dari Kompas TV tentang penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati asal Filipina dalam Breaking News dini hari tadi. Betapa tidak? Apa alasannya? Apakah Jokowi berhasil di lobby Presiden Benigno Aquino, Jr. untuk menunda eksekusi mati tsb? Banyak alasan dan beberapa pendapat yang sempat terbaca dan dipublikasikan di media Kompasiana ini, terus terang saya sendiri enggan menuliskan alasan saya karena kesibukan yang cukup padat dan berbagai pertimbangan non tehnis. Tetapi membaca beberapa ulasan dan opini yang terlalu naif, mendorong saya membuatkan catatan tentang detik-detik terjadinya penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane, jika boleh dikatakan terluput dalam last minute (menit akhir). Just a miracle, mungkin kata itu tepat disematkan bagi Mary Jane!
Banyak pendapat yang mengatakan pembelaan terhadap Mary Jane dilakukan karena gerakan LSM berkedok HAM atau pun demi Amnesti Internasional, ada pula pendapat yang mengatakan mengapa harus membuat alibi di saat-saat akhir, tidak berlebihan memang, kalimat itu terucap dari Tonny Spontana, Kapuspenkum Kejagung dan Bapak Jaksa Agung sendiri. Lalu, apa yang mendasari saya menuangkan tulisan “Mary Jane, korban trafficking layakkah dihukum mati?” sampai-sampai mendapat 'stempel' seolah-olah pembela kurir narkoba atau tidak mendukung gerakan pemberantasan narkoba di Indonesia atau punya kepentingan pribadi?
KEMANUSIAAN, yah atas dasar itulah saya meneruskan gerakan #SaveMaryJane. Sulit terbayangkan jika pada akhirnya orang yang ternyata tidak bersalah harus menerima hukuman mati, terlebih lagi seorang yang miskin dan papa, untuk membayar pengacara berkelas pun ia tak sanggup. Sehingga yang terjadi adalah salah tafsir di pengadilan dan hanya karena kata “Are you regret?” dan dijawab “No”, hakim menjatuhkan hukuman mati sekalipun jaksa hanya menuntut hukuman penjara seumur hidup. Ia yang tak sanggup membayar hanya mendapat bantuan penerjemah seorang mahasiswa bahasa asing bukan penerjemah tersumpah, yang akhirnya tidak dapat berkomunikasi dengan Mary Jane (yang hanya mengerti bahasa Tagalog, bahasa ibu di Filipina pada saat itu). Berikut kronologis yang terjadi dalam waktu relatif singkat dan mencekam;
Tanggal 26 April 2015 sekitar pukul 13:10 siang saya mendapatkan email untuk mendukung petisi dari Change.org yang diprakarsai oleh bang Ruli Manurung, seorang dosen, staf dan peneliti di UI yang juga aktivis dan relawan kemanusiaan. Betapa tidak trenyuh, ditengah kesibukan beliau yang padat masih tergerak untuk melihat kepentingan seorang manusia sederhana seperti Mary Jane untuk dibela bahkan dalam tempo yang relatif singkat dan terbatas. Berikut kalimat bang Ruli dalam balasan petisi tsb:
“Jujur saja, ketika saya memulai petisi ini, saya tidak punya rencana yang matang mengenai apa langkah berikutnya. Saya hanyalah seorang warganegara biasa yang ingin menyuarakan aspirasi saya mengenai ketidakadilan yang luarbiasa ini”.
Terus terang saya pribadi tidak meminta ijin untuk melampirkan utuh bunyi petisi dan update (perkembangan) kunjungan ke penjara yang diterima dalam bahasa Inggris melalui pengacara Mary Jane (diterjemahkan oleh bang Ruli sendiri) tetapi hati nurani saya berkata inilah yang dapat saya lakukan dan tuliskan untuk sekadar menjadi perhatian pihak terkait dan rekan-rekan kompasianers lainnya melalui posting tulisan di Kompasiana (isi petisi dan updatenya ada dalam tulisan sebelumnya). Memang terlalu minim sekali pemberitaan tentang Mary Jane dan liputan selama persidangan yang terjadi. Saya memaklumi ini karena Mary Jane hanyalah seorang yang sederhana, yang merencanakan bekerja sebagai buruh migran untuk mencukupi kehidupannya yang sangat miskin dengan rela meninggalkan anak dan keluarganya di Filipina.
Dalam perkembangan selanjutnya, para relawan sudah sangat pesimis, terlebih lagi dengan ditolaknya PK ke dua yang diajukan pengacara Mary Jane tepat sehari sebelum eksekusi mati akan berlangsung. Bahkan di sore hari yang sama, Menteri Luar Negeri dan Jaksa Agung tetap memberikan pernyataan bahwa tidak ada pengecualian sama sekali termasuk eksekusi mati terhadap Mary Jane.
Malam hari tanggal 28 April 2014 kira-kira jam 20.00 WIB hanya beberapa jam dari tenggat waktu pelaksanaan eksekusi mati tsb, saya menerima email yang diteruskan oleh change.org dari Anis Hidayah, Direktur Migrant Care yang memberitahukan bahwa beliau pada siang hari yang sama bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk membicarakan masalah hari buruh yang akan jatuh pada 1 Mei lusa. Diluar dugaan, presiden bertanya tentang Mary Jane dan ada kesan beliau tergerak untuk mengetahui lebih lanjut apa permasalahan yang terjadi. Selepas mendapat email tsb, saya mencoba memberikan update dalam tulisan saya tentang Mary Jane tsb dan lagi-lagi tanpa memberitahu mbak Anis sebelumnya. Tetapi hati nurani saya kembali berkata, ini demi kemanusiaan, masakan saya dipersalahkan dengan membuka sumber tanpa ijin mengingat keterbatasan waktu. Dalam situasi yang genting dan singkat saya ingin mengajak mereka yang tergerak hatinya untuk memberikan support melalui twitter dengan tagar #BiarkanHidup atau sms ke Jaksa Agung 0811914656. Ternyata gerakan singkat ini berdampak luar biasa, sepanjang malam tagar #BiarkanHidup sempat mencapai trending topic Indonesia, selain #SaveMaryJane.
Meski demikian, kami menanti dengan harap-harap cemas. Tak pelak juga kesedihan sempat melanda sang pencetus petisi tsb, bang Ruli Manurung yang saya terima emailnya tadi pagi, 29 April 2015 sekitar pukul 07.00 WIB yang berbunyi demikian:
“Selamat pagi rekan-rekan, Semalam saya tertidur bersama keluarga, dengan perasaan yag sangat berat dalam hati. Sepertinya semua usaha detik-detik terakhir telah gagal memiliki dampak, dan Mary Jane sudah diatur untuk menjalankan hukuman mati. Maka sungguh kagetlah saya ketika saya dibangunkan istri saya sejam yang lalu sambil menyerukan kabar bahwa Mary Jane tidak diikutsertakan dalam eksekusi yang dilakukan dini hari tadi. Semoga keadilan yang sebenarnya bisa dimunculkan melalui proses pengusutan kasus perdagangan manusia, dimana Mary Jane akan diminta untuk bersaksi. Terima kasih bapak presiden @jokowi_do2, karena bapak sudah mau mendengarkan aspirasi kami. Dalam hal ini bapak telah menunjukkan ketegasan dalam menegakkan keadilan yang dilandasi kemanusiaan”.
Saya sendiri kaget bercampur haru mendengar siaran Kompas TV dini hari tadi bahwa Mary Jane terluput dari eksekusi mati karena perintah presiden Jokowi kepada Jaksa Agung untuk memberikan penundaan khusus sehubungan dengan penyerahan diri Cristina Sergio, orang yang menjerumuskan Mary Jane melalui human trafficking. Dan kesaksian Mary Jane diperlukan untuk penyidikan atas permintaan ulang Presiden Filipina Benigno Aquino, Jr. kepada presiden Jokowi. Di Filipina sendiri keriangan dan rasa haru meliputi masyarakat di sana sehubungan dengan berita penundaan eksekusi mati atas Mary Jane . Keluarga Mary Jane sendiri yang semula siap sedia menunggu kedatangan jenazah di Jakarta baru menyadari penangguhan yang diberikan sekitar pukul 2 pagi.