Kebisingan antar lembaga penegak hukum sampai saat ini masih menjadi perseteruan politik atau perdebatan yang seru dan panas. Meski sidang praperadilan yang diajukan Komjen BG belum menemukan titik akhir, desakan kepada Presiden Jokowi tak jua berkurang. Justru yang terjadi para pendukung Jokowi mulai mengkritisi atau dalam bahasa halusnya menyentil ketidakberdayaan sang Presiden mengatasi dilema antar lembaga penegak hukum. Presiden yang tidak tegas, Presiden boneka, Presiden di bawah tekanan, dsbnya demikian bunyi sentilan tsb. Kalimat itu mudah saja terlontar dari para pendukung fanatik Jokowi pasca Pilpres yang lalu!
Ibarat pengamat bola bilang, “kenapa begitu gampang gak bisa nge-gol juga, dasar dodol!”. Barangkali dia lupa bahwa dia tidak terlibat, dia tidak mengalami, dia tidak merasakan apa yang dirasa pelaku, berbeda antara teori dan praktek.
Dengan terang benderang Presiden Jokowi sudah menyampaikan bahwa beliau mempersilahkan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan perlu waktu karena ada tumpang tindih antara hukum dan politik. Karenanya, beliau akan memutuskan dalam waktu yang tepat. Justru yang terjadi banyak pihak menganggap pernyataan Jokowi bentuk ketidaktegasan. Secara leksikal, kata “ketidaktegasan” berarti ketidakjelasan atau ketidakpastian. Bila kata tersebut hendak dikenakan pada sikap Presiden Jokowi terhadap kasus perseteruan atau kebisingan politik yang terjadi belakangan ini, akan terdapat berbagai variasi arti, tergantung dari asumsi yang kita pegang.
Kita bisa mengatakan perseteruan yang terjadi adalah perseteruan AS vs BG, BW vs BG, KPK vs BG, KPK vs Polri, KPK vs DPR, KPK vs Presiden Jokowi, KPK vs PDIP, KPK vs KIH, tetapi bisa pula kita katakan sebagai perseteruan antara para “aktivis kemanusiaan” (atau lebih tepat bila disebut sebagai sebagian aktivis kemanusiaan) vs Presiden Jokowi. Berbagai perseteruan itu barulah perseteruan yang terlihat dari luar!
Mungkin saja perseteruan yang terjadi sebenarnya bukan sekadar seperti perseteruan yang saya kemukakan di atas, melainkan perseteruan antara pihak-pihak yang mirip hantu (ada, tetapi tidak bisa atau belum bisa dilihat dengan mata jasmani), yaitu berkaitan dengan apakah ada pihak-pihak di belakang KPK atau pihak-pihak di belakang Presiden Jokowi. Selain pihak-pihak yang berseteru sebenarnya tidak terlalu jelas, pihak-pihak lain (baca: rakyat) yang sebenarnya tidak terlibat secara langsung sudah memiliki keyakinan atau iman yang didasarkan pada asumsi (dugaan).
Walaupun asumsi itu hanya didasari oleh pengamatan dari jauh, para aktivis kemanusiaan itu umumnya memiliki “iman” bahwa KPK pasti benar dan kepolisian selalu di pihak yang salah. Iman para aktivis kemanusiaan itu sedemikian kuat sehingga kesaksian apa pun dan penjelasan apa pun yang dianggap merugikan KPK dianggap sebagai rekayasa atau kriminalisasi terhadap KPK.
Sebut saja contoh yang terjadi pada BW. Meskipun terjadi tindak berlebihan oleh penyidik Polri dalam hal penangkapan tersangka BW, tapi tidak lantas menutup mata kita bahwa BW tetaplah seorang tersangka. Sama halnya dengan BG, yang meskipun tersangka dalam bidikan KPK, ia adalah Kapolri sah berdasarkan persetujuan DPR atas pengajuan Presiden berdasarkan hak prerogatif beliau. BG mengajukan praperadilan terhadap KPK, dengan tujuan menguji apakah penetapan tersangka cacat prosedural? Apakah penetapan tersangka dari KPK sudah sesuai SOP, apakah terjadi penyimpangan/tidak, apakah cukup bukti/tidak, hal-hal demikianlah yang sedang diuji mengingat tidak adanya pengawasan terhadap kinerja KPK. Jika tidak sah seharusnya penetapan tsb batal demi hukum dan tidak mengikat. Namun, belum lagi ada penetapan dari pengadilan, sudah ada banyak suara miring yang mendesak pembatalan dan mengecam hakim tunggal Sarpin R. Ada begitu banyak aktivis dan pengamat yang mengomentari bahwa praperadilan seharusnya ditolak, hakim.Sarpin bermasalah, dstnya yang mengidentikkan apapun reaksi dan perlakuan Polri atau BG dipersalahkan, sementara tindakan KPK selalu mendapat pembenaran. Dengan pengunduran diri BW yang terpuji, tidakkah berlebihan ketika ia melakukan konferensi pers yang mengungkapkan adanya ancaman terhadap penyidik KPK? Bukankah KPK piawai dalam menghadapi dan mengatasi tekanan serta ancaman? Tidakkah berlebihan pula sikap BW sebagai pimpinan KPK yang secara fakta sudah mengundurkan diri masih melakukan konpers atas nama KPK? Mengapa tidak dilakukan oleh Abraham Samad, atau Adnan P atau Zulkarnaen atau katakanlah oleh Deputi Pencegahan sekaligus mantan jubir KPK Johan Budi?
Menyangkut tekanan dari kubu KIH atau PDIP atau lebih spesifik ibu Megawati. Saya heran sekali begitu mudahnya Mega dicap 'kambing hitam' akibat tuduhan ketidaktegasan Jokowi. Barangkali mereka yang memberi stempel lupa bahwa Jokowi dicalonkan oleh Megawati yang telah mengabaikan hak politik beliau sebagai calon Presiden dan memberikannya kepada Jokowi. Apakah mereka yang ramai-ramai bersuara bisa mencalonkan Jokowi? Begitu mudahnya menuding Megawati sebagai 'biang kerok' perseteruan mempertahankan BG! Bukankah berkali-kali Megawati berbesar hati untuk mengalah dan mengabaikan haknya? Masih terbayang di ingatan saya saat menjabat Presiden sekalipun Mega tidak memperjuangkan tragedi 27 Juli 1996 (Kudatuli/Sabtu kelabu) untuk jadi prioritas dan membela membabibuta para aktivis PDIP yang notabene partai yang dipimpinnya. Adalah juga seorang Mega yang bergeming (diam) tatkala Gus Dur yang digadang-gadang Amien Rais melalui Poros Tengah menang suara tipis dalam pemilihan Presiden, justru menenangkan kegeraman massa PDIP sebagai partai pemenang pemilu 1999. Apakah sedemikian rendahnya pertaruhan kenegarawanan Mega untuk memperjuangkan mantan ajudannya BG agar menjadi Kapolri?
Keberagaman kemungkinan di atas jelas mewarnai pandangan seseorang terhadap sikap Presiden Jokowi yang sampai sekarang masih belum melakukan intervensi terhadap perseteruan yang terjadi. Bagi mereka yang menganggap Jokowi tidak tegas dan para penyokong pendapat mereka,
-
Presiden Jokowi baru bisa dianggap tegas bila beliau membela KPK dengan menganggap KPK pasti benar dan semua usaha membongkar kebusukan para pimpinan KPK dinyatakan sebagai fitnah atau usaha kriminalisasi terhadap KPK.
-
Presiden Jokowi baru bisa dianggap tegas bila beliau mau (secara membuta) menyatakan bahwa semua usaha membongkar kebusukan para pimpinan KPK dianggap (ditetapkan) sebagai usaha mengada-ada yang harus dihentikan.