Mohon tunggu...
hanin retno
hanin retno Mohon Tunggu... mahasiswa UIN RMS

menyukai pemandangan alam

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Jurnal Perceraian dan Pemberdayaan Keluarga Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri oleh Muhammad Julijanto, Masrukhin, dan Ahmad Kholis Hayatuddin

17 Maret 2025   15:01 Diperbarui: 17 Maret 2025   15:01 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Julijanto, Masrukhin, dan Ahmad Kholis Hayatuddin menunjukkan bahwa perceraian di Indonesia, terutama di Kabupaten Wonogiri, meningkat secara signifikan. Sekitar 8-9% dari total pernikahan berakhir dengan perceraian, ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ada masalah dalam sistem pernikahan di daerah ini. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda, yang dapat mempengaruhi hubungan keluarga. Di Wonogiri, karakteristik sosial tertentu, yaitu adanya tradisi "boro" atau merantau, di mana banyak warga pergi ke kota besar atau luar negeri untuk mencari pekerjaan, yang dapat mempengaruhi angka perceraian. Proses pengajuan cerai yang mudah, termasuk adanya sidang keliling, membuat perceraian menjadi pilihan yang lebih mudah bagi masyarakat. Ini menciptakan pandangan bahwa perceraian adalah solusi cepat untuk masalah rumah tangga. Banyak pasangan menikah di usia muda, sering kali di bawah 16 tahun, yang menyebabkan ketidakmatangan dalam menghadapi tantangan kehidupan berumah tangga. Pendidikan yang rendah juga berkontribusi pada kurangnya pemahaman tentang tanggung jawab dalam pernikahan. Krisis ekonomi menjadi salah satu penyebab utama, ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dapat menyebabkan frustrasi dan konflik antara pasangan.

KUA memiliki peran penting dalam memberikan nasehat pernikahan dan mediasi. Namun, banyak masyarakat yang datang ke BP4 dalam keadaan krisis, sehingga efektivitasnya berkurang. KUA seharusnya berfungsi sebagai mediator aktif dalam mencegah perceraian, tetapi sering kali tidak dapat menjalankan perannya dengan baik. Keterbatasan program- program yang ada, seperti kursus pra-nikah, tidak cukup untuk mengatasi masalah yang lebih dalam. KUA perlu meningkatkan pendekatan mereka untuk menjangkau pasangan sebelum mereka mencapai titik perceraian. Penulis mengatakan bahwa dengan adanya Badan Amil Zakat Daerah (Bazda), keluarga miskin diberikan bantuan untuk membangun usaha dan modal ekonomi Ini merupakan langkah positif, tetapi masih banyak keluarga yang tidak mendapatkan akses ke program ini. Program pemerintah untuk membina keluarga sakinah tidak didukung oleh anggaran yang memadai. Tanpa dukungan finansial yang cukup, program-program ini tidak dapat berjalan efektif dan berkelanjutan

Penulis menegaskan bahwa perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan yang bercerai, tetapi juga pada anak-anak yang sering kali menjadi korban. Anak-anak dari keluarga yang bercerai dapat mengalami masalah emosional, kehilangan kasih sayang, dan kesulitan dalam pengasuhan. Tingginya angka perceraian dapat menyebabkan masalah sosial yang lebih luas, seperti peningkatan kenakalan remaja dan kriminalitas. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga broken home sering kali menghadapi tantangan dalam perkembangan sosial dan emosional mereka. Artikel ini menekankan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dalam menangani perceraian dan pemberdayaan keluarga. Ini mencakup peningkatan pendidikan, pemahaman agama, dan dukungan ekonomi. KUA dan BP4 perlu diperkuat dalam memberikan nasehat dan mediasi. Program-program yang ada harus ditingkatkan untuk menjangkau pasangan yang berisiko bercerai sebelum mereka mencapai titik putus. Diperlukan peningkatan anggaran untuk program pemberdayaan keluarga agar lebih efektif dalam membantu keluarga pasca perceraian. Tanpa dukungan finansial yang cukup, program-program initidak akan dapat berjalan dengan baik.

Kebijakan yang ada saat ini cenderung mempermudah proses perceraian, yang dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam mempertahankan institusi pernikahan. Sebaiknya, kebijakan harus diarahkan untuk memperkuat pernikahan dan memberikan dukungan kepada pasangan yang menghadapi masalah. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung keluarga sakinah. Pendidikan dan kesadaran akan pentingnya pernikahan yang sehat harus ditingkatkan di tingkat komunitas. Artikel ini memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan yang dihadapi oleh keluarga di Kabupaten Wonogiri terkait dengan perceraian. Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian dan upaya pemberdayaan keluarga, diharapkan dapat ditemukan solusi yang lebih efektif untuk mengurangi angka perceraian dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Artikel ini menunjukkan bahwa perceraian di Kabupaten Wonogiri adalah masalah kompleks yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Diperlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keluarga sakinah dan mengurangi angka perceraian.

Penulis menjelaskan bahwa alasan terjadinya perceraian itu ada beberapa hal, yaitu : banyak perceraian terjadi karena salah satu pasangan tidak menjalankan tanggung jawabnya, baik dalam hal keuangan maupun dukungan emosional seperti kasih sayang, pengertian, dan lain sebagainya, kemudian ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk memberikan nafkah yang cukup menjadi salah satu alasan utama perceraian, lalu kehadiran orang ketiga dalam hubungan sering kali menjadi penyebab perceraian, di mana salah satu pasangan berselingkuh, kemudian seringnya terjadi pertengkaran antara pasangan dapat mendorong mereka untuk bercerai, ketidakmampuan untuk tinggal bersama atau masalah dalam hubungan jarak jauh dapat menyebabkan perceraian, beberapa pasangan merasa tertekan untuk memiliki anak, jika mereka tidak bisa memenuhi harapan ini, maka bisa menyebabkan perceraian, dan tidak mematuhi kewajiban dalam pernikahan, baik yang bersifat hukum maupun agama dapat menjadi alasan perceraian.

Penulis juga menjelaskan tentang faktor penyebab terjadinya perceraian, yaitu : proses untuk mengajukan cerai yang sangat mudah, termasuk adanya sidang keliling, hal ini membuat perceraian menjadi pilihan yang lebih mudah dalam menyelesaikan masalah rumah tangga bagi masyarakat sekitar, lalu banyak pasangan menikah di usia muda, sering kali di bawah 16 tahun yang membuat mereka tidak siap menghadapi tantangan dalam pernikahan, kemudian pendidikan yang rendah juga membuat mereka kurang memahami tanggung jawab dalam pernikahan, terjadinya krisis ekonomi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya masalah dalam rumah tangga, kemudian tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar dapat menyebabkan frustrasi dan konflik antara pasangan, ketaatan yang rendah dalam menjalankan ajaran agama dapat meningkatkan angka perceraian, tidak bisanya menyelesaikan masalah dengan cara spiritual, hal itu bisa membuat situasi menjadi lebih buruk, dan faktor lingkungan sosial yang terlalu bebas dan kurangnya pengawasan dari masyarakat bisa memengaruhi keputusan seseorang untuk bercerai. 

Penulis menegaskan bahwa dampak yang akan terjadi terhadap keluarga, yaitu : anak- anak sering kali kehilangan perhatian dan kasih sayang dari salah satu orang tua setelah perceraian, yang bisa memengaruhi perasaan dan perkembangan mereka, perceraian bisa membuat salah satu atau kedua orang tua mengalami kesulitan keuangan, yang berdampak pada kehidupan sehari-hari keluarga, anggota keluarga, terutama anak-anak, bisa merasakan stres emosional yang berkepanjangan akibat perpisahan orang tua, anak-anak dari keluarga yang bercerai mungkin lebih rentan terhadap masalah sosial, seperti kenakalan remaja dan peningkatan tingkat kriminalitas, perceraian dapat menyebabkan masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan, baik bagi orang tua maupun anak-anak. Dengan ini, perceraian tidak hanya memengaruhi hubungan antara pasangan, tetapi juga berdampak besar pada seluruh keluarga.

Menurut saya solusi untuk mengatasi masalah dan dampak perceraian, yaitu bisa dilakukan dengan meningkatkan pemahaman dan praktik ajaran agama di masyarakat agar mereka lebih berkomitmen dalam pernikahan, mengadakan kursus pra-nikah yang lebih mendalam untuk membantu calon pasangan memahami tanggung jawab mereka dalam pernikahan, memperkuat peran KUA dalam memberikan nasihat dan mediasi sebelum perceraian terjadi, meningkatkan akses dan kualitas layanan KUA untuk membantu pasangan yang sedang menghadapi masalah, memberikan bantuan modal dan pelatihan kepada keluarga pasca perceraian agar mereka bisa mandiri secara ekonomi, mendorong program-program pemerintah yang fokus pada pemberdayaan keluarga dan pengentasan kemiskinan, mengadakan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga keharmonisan keluarga dan dampak buruk dari perceraian, dan mendorong kebijakan yang mendukung program keluarga sakinah dengan anggaran yang cukup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun