Hiperinflasi ini terjadi pada masa pemerintahan presiden Robert Mugabe yang dikenal sebagai pemimpin yang otoriter. Pada masa pemerintahannya, Zimbabwe mengalami kejayaan sekaligus keruntuhan, dimana terjadi krisis ekonomi besar-besaran sekaligus banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi. Pada awalnya, Presiden Robert Mugabe merilis kebijakan ' Land Reform' untuk mengambil semua lahan perkebunan dan ladang milik petani kulit putih. Setelah lahan-lahan dari petani kulit putih tersebut dirampas, namun ternyata warga lokal tidak memiliki bekal dan cukup pengalaman untuk mengelola ladang sehingga ladang-ladang yang telah dirampas tidak bisa dikelola dengan baik, hal itu juga yang kemudian mengakibatkan krisis parah terlebih lagi di bidang ekonomi karena untuk mengelola kebun-kebun yang telah dirampas itu, Zimbabwe harus mengimpor bahan seperti pupuk, benih, dan juga alat alat pertanian dari negara-negara di sekitarnya seperti Zambia dan Malawi. Di masa pemerintahannya, memang kerap terjadi diskriminasi terlebih pada masyarakat dengan kulit putih dan juga masyarakat-masyarakat yang mendukung pihak oposisi, yaitu lawan dari partai politik Mugabe. Krisis parah yang terjadi di Zimbabwe ternyata berdampak ke sektor-sektor lain juga selain sektor ekonomi, seperti pariwisata yang mana investor-investor asing menjadi enggan untuk berinvestasi setelah melihat krisis yang tengah terjadi di negara tersebut.
Kriminalitas dan persoalan ekonomi sebenarnya merupakan hal yang berkaitan dan saling mempengaruhi. Seperti halnya yang terjadi di Zimbabwe, kemerosotan ekonomi yang terjadi salah satunya juga disebabkan oleh kebijakan 'terburu-buru' Mugabe yang didasarkan kebenciannya pada masyarakat kulit putih yang pada akhirnya berujung pada tindak kriminal seperti penyiksaan dan kekerasan yang termasuk pada tindakan kriminal, selain itu kriris ekonomi juga disebabkan oleh tindak korupsi dari pemerintahan Mugabe itu sendiri, yang menjadikan anggaran negara mengalami defisit yang cukup banyak, akhirnya pemerintah membuat kebijakan untuk mencetak uang kertas dalam jumlah lebih banyak dari biasanya agar bisa menutup defisit anggaran negara serta membayar para pegawai pemerintahan dan juga tentara, karena pada saat itu masih satu rentang waktu dengan meletusnya perang Zimbabwe dengan Kongo. Dari pencetakan uang besar-besaran tersebut akhirnya mengakibatkan hiperinflasi yang menjadikan nilai mata uang Zimbabwe yaitu Dolar Zimbabwe (ZWD) menurun secara drastis, dengan US$1 senilai dengan Z$300.000.000.000.000 di akhir tahun 2009 .
Hiperinflasi yang terjadi tidak hanya memberikan dampak buruk di bidang ekonomi, namun juga merambat ke bidang-bidang lain, salah satunya krisis di bidang sosial yang ditandai dengan banyaknya tindak kriminal yang terjadi. Maraknya tindak kriminal di Zimbabwe tidak lain disebabkan oleh sulitnya kondisi ekonomi yang tengah dirasakan masyarakat, sehingga semua orang mencari dan memanfaatkan celah dimana mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang, contohnya dengan cara menerima suap, mencuri, merampok, perdagangan barang-barang ilegal, dan lain-lain. Tindakan kriminal tersebut tidak hanya dilakukan oleh warga sipil saja, namun oknum-oknum tentara juga tercatat menjadi pelaku tindak kriminal, seperti yang telah terjadi, dua orang tentara berkomplot dalam pencurian bank sebesar USD 2,7 Juta dan satu tahun setelahnya, seorang prajurit yang tengah bertugas di resimen komandi elit Tentara Nasional Zimbabwe teridentifikasi sebagai salah satu tersangka perampokan bersenjata, dan ia tewas dalam perampokan tersebut  akibat baku tembak.
Banyaknya tindak kejahatan yang terjadi di Zimbabwe akibat situasi ekonomi yang buruk menjadikan penjara-penjara di negara tersebut penuh, hingga di tahun 2016, pemerintah membuat kebijakan untuk membebaskan 2000 tahanan. Namun dengan bebasnya 2000 tahanan tersebut tidak berarti sel-sel di penjara menjadi kosong, karena di tahun-tahun setelahnya, contohnya di tahun 2021 pemerintah menangkap 849 tersangka perampokan yang menunjukkan bahwa tindak kriminal tetap kerap terjadi setiap tahunnya di Zimbabwe. .
Hiperinflasi yang terjadi juga menyebabkan kesenjangan antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin, dan juga antara aparat pemerintah dan warga sipil. Selain itu, harga-harga barang pokok seperti makanan juga otomatis melambung tinggi sehingga terjadinya kelangkaan pangan yang menyebabkan kelaparan. Ketidakstabilan sosial yang terjadi akibat hiperinflasi juga seringkali menyebabkan ketegangan antar masyarakat, dan juga ketegangan antara masyarakat dengan pemerintah, yang kemudian berujung pada tindak kekerasan karena masyarakat Zimbabwe sendiri juga menghadapi tekanan dari pemerintah. Aparat pemerintahan kerap melakukan tindak kekerasan, terutama pada masyarakat yang memberikan protes terhadap kondisi negara. Dilaporkan bahwa pemerintah beberapa kali telah melakukan tindakan kekerasan terhadap para demonstran yang sedang melakukan unjuk rasa mengenai ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dan memprotes krisis ekonomi yang tidak kunjung selesai. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap warga sipil berupa penangkapan massal dengan menggunakan kekerasan fisik, intimidasi, bahkan penyiksaan, yang mana tindak kekerasan tersebut juga memakan korban jiwa. Hal tersebut menyebabkan Zimbabwe telah banyak menuai kecaman dari organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia dan juga masyarakat internasional sebagai respon terhadap kekerasan yang terjadi di Zimbabwe.
Pemerintahan Zimbabwe sendiri sebenarnya telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi hiperinflasi yang terjadi, beberapa diantaranya adalah dengan mengizinkan rakyat Zimbabwe untuk menggunakan dolar Amerika Serikat sebagai alat tukar, melakukan redenominasi mata uang, dan juga menerbitkan koin emas. Namun upaya-upaya tersebut tetap dinilai kurang efektif dan masih belum sepenuhnya berhasil untuk membuat Zimbabwe bangkit kembali dari krisis ekonomi. Hal tersebutlah yang kemudian menjadikan rakyat Zimbabwe tidak lagi mempercayai pemerintah mereka akibat kegagalan program pemerintah dalam mengatasi hiperinflasi.
Untuk menutup tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi dan kriminalitas merupakan dua hal yang saling terkait. Berangkat dari kasus hiperinflasi Zimbabwe, krisis ekonomi bermula dari tindak kriminal yang dilakukan oleh pemerintahan, dan pada akhirnya krisis menyebabkan meningkatnya angka kriminalitas di Zimbabwe, terutama tindak kriminal yang bertujuan untuk mendapatkan uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H